Ketidakpastian Sektor Migas yang Mengkhawatirkan
Berita

Ketidakpastian Sektor Migas yang Mengkhawatirkan

Komisi VII DPR dan Pemerintah perlu mempercepat revisi UU Migas.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Ketidakpastian Sektor Migas yang Mengkhawatirkan
Hukumonline

Satu per satu bagian Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas) diamputasi melalui judicial review. Mulai dari aturan penetapan harga bahan bakar minyak hingga pembubaran BP Migas. Sementara, DPR dan Pemerintah tak kunjung menyelesaikan revisi Undang-Undang tersebut. Inilah yang membuat ‘galau’ M. Hakim Nasution.

Di depan puluhan civitas akademika Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Senin (13/5) kemarin, pendiri Hakim dan Rekan Law Firm ini memaparkan berbagai masalah dalam dunia migas saat ini. Ketidakpastian hukum menjadi salah satu hal yang membuat ‘galau’ M. Hakim Nasution.

Bayangkan, sudah ada beberapa pasal yang bagiannya dipangkas Mahkamah Konstitusi. Selain pembubaran BP Migas, sudah ada pembatalan Pasal 28 ayat (2) dan (3), penghapusan kata-kata ‘paling banyak’ pada Pasal 22 ayat (1), serta penghapusan frasa ‘diberi wewenang’ kepada Badan Usaha/Badan Usaha Tetap dalam Pasal 12 ayat (1) UU Migas.

Hakim meyakini ketidakpastian hukum akan berdampak pada investasi di sektor migas. Belum lagi tumpang tindih lahan dan perizinan, dan kesulitan untuk membebaskan lahan untuk migas. Pengelolaan migas di daerah juga sering menimbulkan konflik, sehingga kepastian hukum berinvestasi semakin sulit. "Kondisi industri migas kalau saya bilang "galau". Karena tidak ada kepastian hukum, jadinya susah," kata Hakim kepada hukumonline.

Sehat tidaknya sektor migas bisa dilihat dari lifting minyak. Kalau target lifting dalam negeri tercapai setiap tahun, itu pertanda sektor migas sehat.  Indonesia, sebaliknya, belum mencapai target yang diharapkan. Hakim menduga ada kesalahan tata kelola migas di Indonesia.

Selain itu, Hakim juga menegaskan bahwa mekanisme kerja sama dalam sektor migas berbeda dengan sektor tambang lainnya. Di dalam sektor migas, perjanjian kerja sama dilakukan dengan Production Sharing Contract (PSC) atau dikenal dengan kontrak bagi hasil. Sementara untuk sektor pertambangan lainnya seperti mineral dan batubara dikenal dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP). "Perbedaan mendasarnya adalah kontrak posisinya lebih kuat karena tidak bisa dibatalkan begitu saja. Tetapi IUP, pihak yang mengeluarkan izin bisa mencabut izin kapan saja," tegasnya.

Berkaitan dengan ketidakpastian hukum ini, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR, Puan Maharani, menuturkan sektor migas tengah mengalami darurat konstitusi. Reaksi ini muncul pasca pembubaran BP Migas oleh MK. Ia meminta agar revisi UU Migas segera dipercepat.

Revisi UU Migas, lanjut Puan, diharapkan dapat memperbaiki industri migas terutama tata kelola migas yang baik dan benar. Melalui perbaikan tata kelola ini, diharapkan dan diyakini akan mampu menopang pembangunan ekonomi nasional jangka panjang.

Tags:

Berita Terkait