UU Ormas Belenggu Kebebasan Berserikat
Berita

UU Ormas Belenggu Kebebasan Berserikat

Pemohon diminta untuk memperhatikan pengujian UU Ormas yang dimohonkan Muhammadiyah.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
UU Ormas Belenggu Kebebasan Berserikat
Hukumonline
Sidang permohonan pengujian sebelas pasal UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Massa (Ormas) yang diajukan Koalisi Kebebasan Berserikat digelar di gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (27/1). Koalisi yang terdiri dari FITRA, ICW, YLBHI, YAPPIKA, KPSI, HRWG, dan Imparsial memohonkan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2),(3), dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, c, e UU Ormas.

Kesebelas pasal itu dinilai mengekang kebebasan berserikat dan merugikan hak-hak konstitusional pemohon karena melahirkan norma yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir. “UU Ormas itu telah membelenggu kebebasan berserikat, ini tercermin dalam Pasal 1 angka dan Pasal 5 UU Ormas,” kata kuasa hukum pemohon, Wahyudi Djafar dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Senin (27/1).

Wahyudi menegaskan definisi ormas dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 5 UU Ormas telah menyempit ruang lingkup jaminan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi. Soalnya, organisasi atau asosiasi apapun bisa dikategorikan ormas. “Ini bentuk intervensi negara, bahkan pemerintah dapat membubarkan organisasi tersebu. Ini bertentangan dengan UUD 1945,” kata Wahyudi.

Para pemohon menilai Pasal 10, Pasal 11, Pasal 1 angka 6, dan Pasal 42 ayat (2) terkait pendaftaran ormas menimbulkan konflik norma menimbulkan ketidakpastian hukum. Menurut konvensi hak-hak sipil dan politik dan pendaftaran ormas dimungkinkan sebagai bentuk pembatasan dan pengurangan hak dengan berbagai mekanisme pendaftaran yang bersifat sukarela.

“Seharusnya seluruh mekanisme pendaftaran Ormas sepenuhnya menjadi wewenang Kemenkumham yang mengurus administrasi hukum, bukan Kemendagri. Seperti diatur dalam UU Perseroan Tebatas, UU Parpol, UU Yayasan, UU Perkumpulan,” kata Wahyudi.           

Makanya, Pasal 1 angka 6 yang menyatakan Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan  pemerintahan di bidang dalam negeri diubah menjadi Kemenkumham. “Kita mendorong judisialisasi politik dan itu harus diatur oleh Kemenkumham. Sebab, Kemendagri cenderung sangat politis,” lanjutnya.

Selain itu, UU Ormas menegaskan kembali lebih pada pendekatan politik terhadap sosial kemasyarakatan ketimbang pada prinsip negara hukum. Misalnya, ketentuan tentang tata cara pemilihan kepengurusan Ormas pada Pasal 29 ayat (1) dan penyelesaian sengketa Pasal 57 ayat (2) dan (3).

“Pasal tersebut telah memberi ruang pemerintah untuk masuk dalam urusan internal organisasi. Ini mengancam independensi organisasi sebagai pilar utama kebebasan berserikat,” tegasnya.

Pasal 59 ayat (2) UU Ormas juga membuka peluang penafsiran multi interpretasi, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum. Hal ini terlihat pada frasa atau kata penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terhadap agama, kegiatan separatis, tugas wewenang penegak hukum karena tidak ada penjelasan makna tersebut. “Ini potensial melanggar hak kebebasan berserikat, karena implikasinya bisa pembubaran organisasi.”            

Karena itu, para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat (2),(3), dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, c, e karena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 1 angka 6 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca menteri adalah yang menyelenggarakan hukum dan HAM. Sementara Pasal 42 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca sistem informasi ormas dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait dan dikoordinasikan/diintegrasikan oleh Kemenkumham.

Menanggapi permohonan, anggota Panel Hakim Arief Hidayat belum melihat kerugian konstitusional apa yang dialami pemohon I s.d. IV. “Ini mesti dipertajam argumentasinya dikaitkan dengan yurisprudensi MK. Kalau yang lain-lain saya anggap cukup baik,” kata Arief.

Anggota panel lain, Ahmad Fadlil Sumadi mengkritik status tim kuasa hukum pemohon sebenarnya anggota organisasi itu sendiri. “Saya tidak perlu sebutkan, kalian sudah terlalu terkenal, ini maksudnya apa? Kalau seperti itu seharusnya biarkan saja dia (kuasa) yang bertindak atas nama organisasinya, tak usah menyerahkan lagi kepada advokat,” sarannya. “Kenapa Anda persoalannya tidak fokus saja, pasal-pasal apa yang inkonstitusional sehingga publik menjadi lebih jelas.”

Ketua Panel, Hamdan Zoelva mengingatkan agar para pemohon memperhatikan pengujian UU Ormas oleh Muhammadiyah yang persidangan sudah memasuki agenda pemeriksaan ahli. “Sidang ini tak perlu pemeriksaan perbaikan, tetapi langsung memasukkan perbaikan. Sidang berikutnya bisa langsung bareng dengan Muhammadiyah.”  
Tags:

Berita Terkait