Ini 'Soulmate' Artidjo Alkostar di MA
Berita

Ini 'Soulmate' Artidjo Alkostar di MA

Namanya, MS Lumme, hakim ad hoc tipikor yang bertugas di MA.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Ini 'Soulmate' Artidjo Alkostar di MA
Hukumonline
Nama Artidjo Alkostar mendadak menjadi fenomena. Namanya dielu-elukan sebagai ‘penjagal’ koruptor dengan vonis berat yang dijatuhkannya. Artidjo pun kini bak ‘selebriti’. Kegiatannya sebagai seorang hakim agung bertambah, mulai dari tampil di acara talkshow televisi hingga hadir di sejumlah diskusi atau seminar.

Namun, dalam memutus sejumlah perkara, Artidjo tentu tak sendirian. Biasanya hakim berjumlah ganjil dalam suatu majelis di MA. Kadang berjumlah tiga orang, dan kadang lima orang untuk perkara besar. Vonis berat tentu tak akan diputus bila hanya satu hakim yang berpendapat demikian.

Nah, di MA, sosok Artidjo Alkostar yang terkenal garang terhadap koruptor itu memiliki seorang ‘soulmate’ yang selalu sejalan dengan pendapat hukumnya. Namanya, MS Lumme, hakim ad hoc tipikor yang bertugas di MA.

Honorable Justice (yang terhormat hakim,-red) Mr Lumme. Dia partner saya di MA,” demikian Artidjo memperkenalkan koleganya itu, dalam diskusi bertajuk Harapan Penegakan Hukum, Fenomena Artidjo Alkostar di Jakarta, Selasa (4/3). 

Lumme mengatakan bahwa dirinya sudah sering menangani perkara kasus korupsi dengan Artidjo Alkostar sejak 2005. “Kasus pertama yang saya tangani dengan pak Artidjo itu kasus Gubernur Aceh Abdullah Puteh. Kami vonis 10 tahun,” tegasnya.

Sejak saat itu, Lumme selalu berada dalam satu majelis dengan Artidjo. Dimana ada Artidjo, di sana ada Lumme. Ia pun tak ingat lagi berapa jumlah perkara yang mereka tangani bersama. Meski begitu, Lumme mengaku tak pernah berbeda pendapat ketika menangani kasus korupsi bersama-sama dengan Artidjo. “Saya selalu sama dengan pak Artidjo. Karena pendapat hukum kami memang sama. Kami sepemikiran,” jelasnya.

“Di majelis lain, saya sering Dissenting Opinion, tapi dengan dia tak pernah,” tambahnya lagi.

Lumme melihat sosok Artidjo sebagai hakim yang tak akan tergoda dengan rayuan-rayuan apapun. “Dia jujur. Dia hayati betul UU Korupsi itu bahwa korupsi merusak hak asasi dan hak sosial masyarakat. Dia jiwai betul itu UU Korupsi,” tuturnya.

Beda Suratan Takdir
Perjalanan karier Artidjo dan Lumme memang cukup unik. Dahulu, Artidjo adalah seorang pengacara di Yogyakarta, lalu menjabat sebagai hakim agung dari jalur non karier. Sedangkan, Lumme, merupakan hakim karier yang merintis dari bawah (pengadilan negeri) tapi tak pernah menyandang predikat hakim agung.

Di MA, Lumme memang bukan berstatus hakim agung, melainkan hakim ad hoc tipikor yang ditugaskan di MA. Pada 2000, Lumme sempat digadang menjadi calon hakim agung, tetapi terganjal aturan. Kala itu, undang-undang mensyaratkan bahwa untuk menjadi hakim agung (dari jalur karier), seorang calon harus bertugas di Pengadilan Tinggi (PT) selama 10 tahun. Kala itu, Lumme baru bertugas selama tujuh tahun.

Lalu, undang-undang itu diubah sehingga persyaratan menjadi 20 tahun masa kerja, dan tiga tahun di antaranya sebagai hakim tinggi. Lumme menuturkan bahwa undang-undang ini membawa berkah bagi sejumlah hakim, termasuk Harifin Tumpa yang kemudian lolos menjadi hakim agung hingga menjadi Ketua MA. Namun, beda halnya dengan Lumme yang keburu pensiun sebagai hakim PT.

“Itu berkahnya untuk dia (Harifin Tumpa,-red). Tapi, untung ada (posisi,-red) hakim ad hoc, kalau tak ada, saya tentu tak bisa ke MA,” ungkapnya.

Meski begitu, Lumme tak pernah merasa iri kepada para hakim agung dari jalur non karier (yang tak meniti karier sebagai hakim dari bawah), termasuk kepada koleganya Artidjo. “Artidjo memang hakim agung non-karier, tapi jiwa raganya sama seperti Lumme,” tegasnya mantab.

Cessie Bank Bali
Lumme mengaku sudah mulai mengenal Artidjo ketika mantan aktivis LBH Yogyakarta itu menangani kasus mega skandal cessie Bank Bali. Kala itu, Lumme menyambangi kamar kerja Artidjo di MA untuk memberikan informasi mengenai kasus ini. “Saya kasih informasi ke beliau, sekalipun di kamarnya tak boleh bicara perkara,” ujarnya.

Lumme memberi perhatian pada kasus ini karena ia pernah menangani kasus cessie Bank Bali senilai Rp1 triliun ketika menjadi Wakil Ketua PT DKI Jakarta. “Waktu itu ada yang bilang kalau bisa ‘ditolong’, maka ada duit Rp50 miliar untuk hakim,” ungkapnya.

Lumme tegas menolak tawaran itu. “Waktu itu Maruarar Siahaan (kemudian menjadi hakim konstitusi,-red) adalah hakim anggota saya. Kita sepakat untuk periksa perkara itu,” ujarnya.

Karenanya, ketika mendengar ada kasus cessie Bank Bali berujung ke MA, Lumme segera mencari tahu siapa hakimnya. Hingga, ia kemudian tahu bahwa Artidjo lah salah seorang hakim anggota.

Kala itu, lanjut Lumme, Artidjo kalah suara dari anggota majelis lainnya. Ia berpendapat bahwa terdakwa dihukum 20 tahun, sedangkan mayoritas anggota majelis membebaskan terdakwa. “Artidjo akhirnya mengambil sikap dissenting opinion (DO). Itu DO pertama di MA,” tuturnya.

Lumme melanjutkan, ketua majelis hakim perkara itu segera melapor ke Ketua MA Bagir Manan terkait sikap Artidjo yang mengeluarkan DO. Bagir pun memanggil dan bertanya kepada Artidjo mengajukan DO, padahal putusan MA tak mengenal DO.

“Artidjo justru balik bertanya apa ini intervensi (terhadap independensi hakim,-red). Bagir mengatakan itu bukan intervensi, hanya bertanya,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait