Asosiasi Dorong POJK Pungutan Lebih Friendly
Berita

Asosiasi Dorong POJK Pungutan Lebih Friendly

Bila perlu ada klausul yang tidak mewajibkan adanya pungutan OJK.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Asosiasi Dorong POJK Pungutan Lebih Friendly
Hukumonline
Masukan demi masukan berdatangan terkait penerapan Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Meski PP sudah berlaku, harapan pungutan lebih ‘friendly’ terhadap pelaku jasa keuangan tetap ada. Hal tersebut diutarakan oleh Ketua Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) Lily Widjaja.
 
Salah satu harapan yang dimaksud Lily berada pada penyusunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait mekanisme pembayaran pungutan. Ia berharap dalam aturan pelaksana dari PP tersebut, akan banyak klausul mengenai pungutan hingga nol persen.

“Kalau PP sudah final, tapi POJK belum. Masukan kami bisa berdampak pada POJK nanti khususnya terkait Pasal 17 (PP) yang bisa memungut nol persen,” kata Lily dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (17/3).

Ia mengatakan, dalam pembuatan sebuah peraturan di OJK terdapat rule making rule yang mengundang pelaku jasa keuangan atau asosiasi untuk memberikan masukannya. Mekanisme ini yang bisa menjadi celah bagi asosiasi dalam hal memberikan masukan terkait pungutan agar tidak memberatkan.

“Kalau perbankan yang kaya raya saja (pungutan, red) menjadi beban. Bagaimana perusahaan efek,” ujar lily.

Ketua Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Indra Safitri menambahkan, setidaknya terdapat sejumlah langkah yang bisa dilakukan pelaku jasa keuangan maupun asosiasi terkait PP ini.

Pertama, melalui rule making rule pembuatan POJK. Dalam rule making rule, asosiasi maupun pelaku jasa keuangan dapat menyarankan agar POJK yang merupakan aturan pelaksana PP Pungutan, tidak terlalu memberatkan.

“Melalui POJK, apakah dapat menetralisir hal-hal yang sekarang menimbulkan gejolak,” kata Indra.

Cara kedua adalah dengan menunggu terpilihnya Presiden Indonesia yang baru. Menurutnya, presiden baru terpilih bisa saja mengubah PP jika banyak desakan dari pelaku jasa keuangan ataupun asosiasi.

Sedangkan cara yang ketiga melalui ranah hukum atau pengadilan. Cara ini bisa melalui judicial review atau menguji UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK khusus mengenai frasa pungutan atau uji materi PP secara sebagian atau menyeluruh. Untuk judicial review, lanjut Indra, bisa datang dari anggota HKHPM yang keberatan dengan pungutan.

“Kemungkinan besar kalau PP ini tidak menetralisir, ada kemungkinan judicial revview,” katanya.

Ketua Umum Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, perbankan berjanji akan menjalankan PP ini lantaran sudah ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski begitu, ia mengingatkan, beban pungutan tersebut berpotensi semakin membebani nasabah atau masyarakat juga.

“Pungutan akan menaikkan biaya dana, sehingga suku bunga kredit juga naik. Orang pinjam ke bank jadi mahal kreditnya,” ujar Sigit.

Deputi Komisioner Manajemen Strategis I OJK Lucky FA Hadibrata mempersilahkan jika ada pelaku jasa keuangan atau asosiasi yang ingin mengajukan judicial review terhadap PP Pungutan OJK tersebut. Menurutnya, gugatan uji materi merupakan hak dari setiap orang.

Terkait operasional OJK, Lucky mengatakan, otoritas tengah berusaha mengurangi penggunaan dana dari APBN. Menurutnya, ke depan operasional OJK akan lebih banyak berasal dari pungutan pelaku atau industri jasa keuangan. “Tahun depan, targetnya APBN dikurangi,” katanya.

Untuk tahun 2014, diperkirakan total pungutan OJK sebesar Rp1,67 triliun. Dana tersebut rencananya akan menjadi biaya operasional untuk tahun 2015. Dana tersebut masih perlu penambahan lantaran untuk anggaran OJK tahun 2014 saja sebesar Rp2,4 triliun.

“Itu tidak termasuk remunerasi 1300 pegawai BI yang dipinjamkan,” ujarnya.

Ia mempersilahkan asosiasi atau pelaku jasa keuangan untuk memberikan masukannya terkait POJK mekanisme pembayaran pungutan yang tengah digodok OJK. Menurut Lucky, dalam mekanisme rule making rule tersebut, sinkronisasi antara sektor yang satu dengan yang lain menjadi keharusan bagi otoritas.

Bahkan bukan tidak mungkin, dalam sinkronisasi, kepala pengawas sektor tertentu di OJK berkeberatan jika ada substansi peraturan yang bertentangan dengan aturan di sektornya masing-masing.
Tags:

Berita Terkait