Vonis Fathanah Diperberat, KPK Belum Tentukan Sikap
Utama

Vonis Fathanah Diperberat, KPK Belum Tentukan Sikap

Putusan banding sudah lebih dari dua per tiga tuntutan KPK.

Oleh:
Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Ahmad Fathanah. Foto: SGP
Ahmad Fathanah. Foto: SGP
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis terdakwa suap pengurusan kuota impor daging sapi, Ahmad Fathanah menjadi 16 tahun penjara. Dalam putusan No. 10/Pid/Tpk/2014/PT.DKI tanggal 19 Maret 2014 tersebut, Fathanah juga dihukum membayar denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

Humas PT DKI Jakarta Achmad Sobari menyatakan, putusan banding mengubah putusan pengadilan tingkat pertama. Semula, Pengadilan Tipikor Jakarta mengukum Fathanah dengan pidana penjara selama 14 tahun. PT DKI Jakarta mengabulkan banding penuntut umum, sehingga hukuman Fathanah diperberat menjadi 16 tahun penjara.

Majelis banding menganggap perbuatan Fathanah telah memenuhi semua unsur dalam dakwaan pertama, Pasal 12 huruf a UU Tipikor dan kedua, Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberatasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Majelis mempertimbangkan sejumlah alasan pemberat.

“Selain untuk menimbulkan efek jera juga untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Perbuatan terdakwa telah menyebabkan harga daging sapi jadi sangat mahal, sehingga merugikan dan meresahkan masyarakat, serta mengganggu kebutuhan pangan masyarakat,” ujar Sobari kepada hukumonline.

Majelis memperberat hukuman Fathanah karena hukuman sebelumnya dinilai belum setimpal dengan perbuatan Fathanah. Sobari menambahkan, putusan banding tersebut dibacakan oleh majelis hakim yang diketuai dirinya sendiri, serta beranggotakan Elang Prakoso Wibowo, Roki Panjaitan, M As'adi Al Ma'ruf, dan Sudiro.

Pengacara Fathanah, Ahmad Rozi belum bisa menanggapi putusan banding yang memperberat hukuman Fathanah. Ia mengaku belum mendapat pemberitahuan dari pengadilan negeri. “Insya Allah kalau sudah diterima dan dipelajari putusannya, akan kami beri tanggapan,” tuturnya.

Juru Bicara KPK Johan Budi menyatakan KPK belum menentukan sikap atas putusan banding itu. Penuntut umum masih menunggu salinan putusan, sehingga belum dapat mempelajari pertimbangan majelis banding. “Setelah salinan putusan diterima, baru KPK akan bersikap, kasasi atau tidak,” katanya di KPK, Rabu (26/3).

Walau begitu, Johan mengatakan, dari segi beratnya hukuman yang dijatuhkan terhadap Fathanah, sudah memenuhi dua per tiga dari tuntutan KPK. Ketika itu, penuntut umum umum meminta majelis hakim menghukum Fathanah dengan pidana penjara selama 17,5 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

Menurut Johan, tuntutan 17,5 tahun penjara tentunya telah mempertimbangkan seluruh aspek. Mulai dari aspek pembuktian, tingkat kesalahan Fathanah, sejauh mana dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Fathanah, hingga apakah Fathanah kooperatif selama menjalani proses penyidikan maupun penuntutan.

Sekadar mengingatkan, majelis hakim pengadilan tingkat pertama sebelumnya memvonis Fathanah dengan pidana penjara selama 14 tahun. "Terdakwa juga dihukum membayar denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan," kata ketua majelis Nawawi Pomolango saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 4 November 2013.

Majelis menganggap Fathanah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kesatu primair, Pasal 12 huruf a UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Fathanah terbukti menerima fee Rp1,3 miliar dari Dirut PT Indoguna Utama untuk pengurusan kuota impor daging sapi. Uang itu untuk kepentingan Luthfi Hasan Ishaaq.

Kemudian, Fathanah dianggap terbukti melakukan TPPU sebagaimana dakwaan kedua, Pasal 3 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Fathanah terbukti menransferkan, membayarkan, menempatkan, dan mengubah bentuk harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari korupsi.

Meski begitu, majelis menilai Fathanah  tidak terbukti melakukan TPPU sebagaimana dakwaan ketiga, Pasal 5 UU TPPU jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Menurut Nawawi, sumber uang yang ditransferkan dan dibayarkan Yudi Setiawan kepada Fathanah bukan berasal dari korupsi, melainkan kredit BJB dan penghasilan Yudi sebagai pengusaha.

Selain itu, uang yang diterima Fathanah dari calon Gubernur Sulawesi, Ilham Arif Siraudin tidak terbukti berasal dari tindak pidana korupsi. Uang-uang itu berasal dari simpatisan, teman, dan keluarga Arif. Nawawi menyatakan tidak ada bukti di persidangan yang menunjukan bahwa uang-uang itu bersumber dari penghasilan yang tidak legal.

Namun, putusan tersebut tidak diambil secara bulat. Hakim anggota tiga, I Made Hendra dan hakim anggota empat, Djoko Subagyo menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion). Keduanya menganggap dakwaan tidak dapat diterima karena jaksa KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU.

Kedua hakim ad hoc tersebut berpendapat, dalam UU No.8 Tahun 2010, kewenangan pemblokiran dan penuntutan TPPU merupakan kewenangan jaksa yang berada di bawah Jaksa Agung. Sementara jaksa KPK diangkat dan diberhentikan pimpinan KPK. "Jadi perkara ini harus dilimpahkan kepada JPU pada Kejaksaan Negeri," ujar Hendra.

Kewenangan KPK menuntut perkara TPPU tidak datang dari langit. KPK tidak boleh menginterpretasikan kewenangannya jika tidak diatur dalam UU No.8 Tahun 2010. Kewenangan penuntutan jaksa KPK harus jelas diatur sebagai legitimasi. Atas dasar itu, Hendra dan Djoko berpendapat dakwaan tidak dapat diterima.
Tags:

Berita Terkait