Ada Apa dengan Pasal 69 UU PPLH
Utama

Ada Apa dengan Pasal 69 UU PPLH

Penegakan hukum lingkungan belum sepenuhnya dijalankan. Harmoni regulasi lingkungan masih lemah.

M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Membuka lahan dengan cara membakar dilarang dalam UU PPLH. Foto: MYS
Membuka lahan dengan cara membakar dilarang dalam UU PPLH. Foto: MYS
Salah satu sandungan dalam penegakan hukum lingkungan adalah Pasal 69 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Di satu sisi, pasal ini justru menjadi dasar yang kuat untuk melindungi lingkungan hidup; tetapi di sisi lain bisa ‘mengancam’ kelompok tertentu.

Pasal 69 UU PPLH, terdiri dari dua ayat, berisi sejumlah larangan kepada setiap orang yang berkaitan dengan lingkungan. Ayat (1) huruf e, misalnya, melarang siapapun membuang limbah ke media lingkungan hidup. Larangan serupa berlaku untuk pembuangan bahan berbahaya dan beracun (B3) dan limbah B3. Kalangan pengusaha cenderung mempersoalkan norma ini.

Ketika pengusaha diundang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Limbah B3, sejumlah pengusaha menuding biang masalahnya adalah Pasal 69 UU PPLH sepanjang mengenai limbah. Definisi limbah dianggap terlalu luas. Pasal 1 angka 20 menyebut limbah sebagai ‘sisa suatu usaha dan/atau kegiatan’.

Sebaliknya, Pasal 69 ayat (1) huruf h mengatur larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Pasal ini bisa mengancam masyarakat lokal yang masih hidup berpindah atau mengusahakan lahan dengan membakar. Beruntung, ayat (2) Pasal ini menyinggung kearifan lokal. Artinya, kearifan lokal harus benar-benar diperhatikan sebelum mengkriminalisasi warga lokal yang membakar lahan.

Menteri Lingkungan Hidup (LH) Balthasar Kambuaya secara eksplisit mengakui ada masalah dalam penerapan UU PPLH. Menurut Kambuaya, ada pihak yang menilai UU PPLH terlalu kuat atau powerful. “Tetapi ada juga yang bilang menghambat kemajuan ekonomi,” ujarnya saat jadi pembicara dalam diskusi dan peluncuran buku yang diselenggarakan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Jakarta, (Kamis (10/4).

Balthasar menjelaskan sudah menyiapkan surat penjelasan kepada Presiden mengenai pasal 69 UU PPLH. Dalam konteks itu, mantan Rektor Universitas Cenderawasih ini memandang UU PPLH sudah baik dan menjadi dasar penting perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Semangatnya adalah memperkuat basis hukum perlindungan lingkungan, dan membutuhkan pemahaman bersama semua pemangku kepentingan. Rumusan-rumusan UU PPLH yang kuat justru untuk menutupi kelemahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Larangan lain yang diatur dalam pasal 69 UU PPLH adalah melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; dan memasukkan B3 dan limbah B3 dari luar negeri ke wilayah Indonesia secara melawan hukum. Ada pula larangan menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi amdal; dan memberikan informasi palsu dan menyesatkan mengenai lingkungan hidup.

Pendiri sekaligus Dewan Pembina ICEL, Mas Achmad Santosa, memuji UU PPLH sebagai contoh perkembangan positif aturan-aturan umum hukum lingkungan. Politik hukum lingkungan baik yang bersifat umum maupun sektoral, kata dia, menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Peraturan perundang-undangan sektoral semakin banyak mengadopsi prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup. Yang jadi masalah, kata pria yang biasa disapa Mas Ota itu adalah harmonisasi antar peraturan. “Harmonisasi tak berjalan,” kata dia. Padahal, harmonisasi ‘mendorong kepastian hukum’.

PPNS dan kerjasama
Salah satu amunisi yang membuat UU PPLH dianggap powerful adalah kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup untuk menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 94 ayat (2) huruf k UU PPLH.

Sayang kewenangan itu belum efektif dijalankan. KLH sendiri terkesan belum berani menggunakan kewenangan itu karena kapasitas sumber daya manusia PPNS. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dinilai Mas Ota sebagai salah satu masalah yang harus diatasi segera.

Hal yang menggembirakan, kata Mas Ota, adalah dukungan dan kerjasama antar lembaga dalam rangka penegakan hukum lingkungan. Pembentukan satuan tugas lingkungan di kepolisian dan kejaksaan, serta sertifikasi hakim lingkungan adalah bukti ‘geliat’ perkembangan semangat menegakkan hukum lingkungan.

Balthasar Kambuaya menambahkan, KLH sudah menjalin nota kesepahaman dengan lembaga-lembaga penegak hukum dalam rangka penegakan hukum lingkungan. “Dengan KPK pun sudah,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait