Surat Terbuka Seorang Advokat untuk Prabowo Subianto
Berita

Surat Terbuka Seorang Advokat untuk Prabowo Subianto

Disampaikan melalui situs jurnalisme warga, Kompasiana.

ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: Kompasiana (capture)
Foto: Kompasiana (capture)
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 disebut-sebut sebagai pilpres paling panas dalam sejarah Indonesia. Saling lapor ke kepolisian masih terus terjadi. Di Pilpres 2014 ini juga “banjir” surat terbuka dari warga negara kepada dua pasangan capres-cawapres dan para pendukungnya.

Salah seorang advokat, Timur Sukirno tak mau ketinggalan. Senior Partner pada Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP), salah satu law firm top di Indonesia, ini juga tak mau ketinggalan menyampaikan surat terbukanya kepada salah seorang capres, Prabowo Subianto.

Timur menyampaikan surat terbuka itu melalui situs jurnalisme warga, Kompasiana, Kamis (17/7). Ia baru mendaftar sebagai anggota website tersebut pada hari yang sama, dan jumlah tulisan di akunnya pun baru surat terbuka yang disampaikan untuk Prabowo ini.

Dalam surat terbuka ini, Timur hanya menyebutkan dirinya sebagai “Seorang warga negara yang concern”, yang artinya pandangan ini tidak mencerminkan pandangan law firm tempatnya bekerja.

Berikut adalah isi lengkap pernyataan Timur untuk Prabowo:

Surat terbuka kepada Bapak Prabowo Subianto.

“Indonesia memang sedang dalam titik kritis untuk menentukan arah dan langkah ke depan. Apakah kita melangkah maju atau malah mundur dan jatuh dalam pusaran kekuasaan yang pongah.  Saat ini kita tengah berada pada titik yang krusial dalam era reformasi ini. Bila kita lihat selama masa reformasi telah ada beberapa kali pemilihan umum presiden yang hasil akhirnya diterima semua pihak dengan legowo dan Ksatria. Contoh yang baik menurut saya adalah pemilihan Gubernur DKI di tahun 2012, dimana Pak Fauzi Bowo yang setelah beberapa hari selesai pemungutan suara  beliau menerima hasil pemilu (dari quick count) walaupun belum final dengan memberi selamat kepada pemenangnya. Harapan saya  bahwa pemilihan presiden kali ini akan  terjadi seperti itu. Namun, yang terjadi malah sebaliknya, dan inti perdebatan justru bergeser menjadi perdebatan atas hasil “quick count” itu sendiri. Saya memahami bahwa dengan perkembangan zaman dan ilmu statistik terkini tentunya telah terjadi kemajuan dan perbaikan dalam tingkat akurasi proses penghitungan “quick count” dari waktu ke waktu.

Yang saya prihatin juga adalah strategi kampanye konsultan kampanye asing tim Bapak yang melaksanakan strategi yang menurut saya kategorinya bukan sekedar berada dalam wilayah “negative campaign” lagi, tapi malah cenderung menjadi issue pemecah belah dan penyebar kebencian yang mengarah pada SARA. SARA seharusnya digunakan untuk pemersatu bukan untuk pemisah. Urusan SARA di era reformasi ini sudah tidak perlu dijadikan issue pemenangan lagi. Saya yakin seperti Almarhum Bapak saya, Pak Prabowo menghendaki Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap utuh dan bersatu, dan tidak ada sejengkal pun tanah ini direbut Negara lain. Namun, sayangnya sentral issue kampanye yang dilakukan melalui media secara  massif dan sistematis adalah  issue-issue yang tidak lain mengarah pada  penyebaran kebencian atas dasar perbedaan agama, golongan maupun ras masih terjadi. “Point” saya disini adalah jangan kita memperdebatkan hal ini kalau kita ingin memelihara dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Saya sebagai salah satu dan seratusan jutaan rakyat pemilih dapat menerima ajakan untuk menunggu hasil tabulasi resmi pada tanggal 22 Juli yang datang ini. Akan tetapi yang saya dan relawan-relawan lain tidak akan rela untuk menerima, dan akan terus berjuang, apabila indikasi hasil pemilihan tersebut tidak sesuai dengan suara rakyat yang telah menjatuhkan pilihannya. Laporan lapangan dan data yang terkumpul dari sekian relawan mengindikasikan pengelembungan suara: “… dari ada menjadi tiada atau dari tiada menjadi ada“.  Hal hal seperti itu yang akan membuat rakyat seperti saya menjadi marah dan tidak akan takut untuk berbuat sesuatu untuk meluruskan hal tersebut. Karena kami tidak mau kembali ke alam demokrasi semu. Saya dan banyak teman-teman saya menginginkan sebuah demokrasi adil dan jujur serta terbuka. Kami tidak mau dan tidak rela hasil perjuangan reformasi dari segenap rakyat di kalahkan oleh kekuatan yang sistematis yang menggunakan segala cara untuk berkuasa.

Rakyat Indonesia akan bekerja siapapun pemimipinnya agar kehidupan mereka terus membaik, dan akan terus mencari jalan agar usahanya dapat berhasil. Saya yakin itu dan era reformasi membuktikan “resilience”, ketangguhan, rakyat Indonesia cukup tinggi untuk bertahan dalam situasi ekonomi apapun.. Untuk itu peran pemerintah dan pimpinannya adalah untuk menyediakan sarana prasarana agar rakyat Indonesia dapat melangkah lebih maju. Pemimpin yang dibutuhkan pada masa kini adalah pemimpin yang mau mendengarkan suara rakyat, bersikap tenang tapi tegas dan mau bekerja. Bukan hanya sekedar menjadi raja yang bertengger disinggasana dan sekadar menunjuk jari, tetapi  yang kita butuhkan pemimpin yang bekerja sebagai abdi rakyat.

Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prabowo yang dengan penuh tanggung jawab mengajak kita semua untuk menerima hasil keputusan tanggal 22 Juli tersebut, Itu menujukan jiwa dan semangat Bapak masih, seperti saya, seorang Indonesia sejati.

Hormat kami,
Timur Sukirno, seorang warga Negara yang concern.
Tags:

Berita Terkait