Lagi, Batas Usia Nikah Dipersoalkan
Utama

Lagi, Batas Usia Nikah Dipersoalkan

Sebaiknya membuat perbandingan dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) terus menuai ‘gugatan’ dari warga negara dan badan hukum. Pasal yang digugat juga beragam. Setelah dari Yayasan Kesehatan Perempuan serta mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kini ‘gugatan’ datang dari sejumlah penduduk dan sebuah yayasan. Mereka sama-sama mempersoalkan UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Persidangan terbaru, Senin (08/9), Majelis Panel MK memeriksa dan mengadili pengujian Pasal 7 ayat (1) dan (2) UUP. Substansinya terkait batas usia pernikahan 19 tahun bagi laki-laki 19 dan 16 tahun bagi perempuan. Para pemohon terhimpun dalam Koalisi Indonesia untuk Penghentian Perkawinan Anak. Tercatat sebagai pemohon yaitu, Indry Oktaviani, Fr Yohana Tantria W, Dini Anitasari Sa’Baniah, Hadiyatut Thoyyibah, Ramadhaniati, dan Yayasan Pemantau Hak Anak (YPHA).

Para pemohon menilai ketentuan batas usia menikah bagi wanita telah melahirkan maraknya perkawinan anak yang berakibat terampasnya hak-hak anak, khususnya hak anak perempuan.  Batas usia 16 tahun bagi perempuan dinilai pemohon melanggar hak-hak perempuan. “Mengakibatkan terampasnya hak-hak anak perempuan untuk tumbuh dan berkembang serta mendapatkan pendidikan yang dijamin Pasal 28B ayat (2), Pasal 28C ayat (1) UUD 1945,” ujar kuasa hukum para pemohon, Anggara dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Patrialis Akbar di ruang MK, Senin (8/9).

Pasal 7 ayat (1) UUP menyebutkan “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Ayat (2)-nya menyebutkan “dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.”

Anggara menegaskan ketentuan itu menjadi dasar pembenaran perkawinan bagi wanita yang sudah mencapai umur 16 tahun. Padahal, setidaknya sekitar 19 peraturan perundang-undangan sudah menentukan batas usia anak adalah 18 tahun keatas. Terlebih, praktiknya tak sedikit wanita yang menikah sebelum usia 16 tahun sebagai “perkawinan anak”.   

“Batas usia menikah bagi wanita sudah tidak sesuai lagi dalam upaya melindungi hak-hak anak, khususnya hak anak perempuan,” katanya. “Pasal itu juga telah menimbulkan diskriminasi dan ketidaksetaraan gender terhadap pemenuhan hak anak laki-laki dan perempuan.” 

Selain mengancam hak pendidikan anak, ketentuan itu dinilai mengancam kesehatan reproduksi anak perempuan. Dari hasil penelitian disebutkan anak perempuan 10-14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal saat hamil atau persalinan dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun.

“Perkawinan dini melahirkan resiko besar terhadap prognosa kehamilan yang berimplikasi terhadap kesehatan ibu dan anak dan beban psikologi,” ungkapnya.

Karenanya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (1) khususnya frasa “16 (enam belas) tahun” bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau dibaca “18 tahun (delapan belas) tahun”. “Menyatakan Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” pintanya.

Menanggapi permohonan, Patrialis mengingatkan uji materi pasal yang sama tengah dimohonkan pengujian oleh Yayasan Kesehatan Perempuan dalam perkara nomor 30/PUU-XII/2014. “Ini harap diperhatikan para pemohon,” kata Patrialis.

Anggota Panel Wahidudin Adams mengatakan sebenarnya dalil argumentasi permohonan ini sama dengan alasan munculnya Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan 40 tahun silam. Hal itu bisa dilihat dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) yang menyebut batas usia perkawinan 19 dan 16 tahun itu untuk menjaga kesehatan suami-istri dan keturunannya.

“Saat pasal itu dibahas banyak pihak mengusulkan batas usia itu tidak perlu diterapkan yang terpenting matang secara biologis, psikologis, sosial, bahkan secara ekonomi. Ada juga usulan syarat ketentuan agama, aqil baligh saja. Jadi, Saudara bisa baca sejarah lahirnya UU Perkawinan itu,” sarannya. “ Ada baiknya Saudara juga membandingkan ketentuan batas usia menikah di negara-negara muslim, seperti Mesir , Iran, Pakistan”.
Tags:

Berita Terkait