Gugatan Batas Usia Hak Pilih Ditolak
Berita

Gugatan Batas Usia Hak Pilih Ditolak

Pemohon menganggap MK memutus di luar tuntutannya.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak permohonan uji materi Pasal 27 ayat (1) UU Pilpres dan Pasal 19 ayat (1) UU Pemilu Legislatif yang mengatur batas usia yang mempunyai hak untuk memilih dalam pemilihan umum. Dalam putusannya, MK berkesimpulan kedua pasal tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau tetap konstitusional.

“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 61/PUU-XII/2013 yang dimohonkan Taufiq Hasan di ruang sidang MK, Selasa (18/3).

Dalam permohonanya, Taufiq menilai rumusan kedua pasal yang menyebut warga negara yang mempunyai hak pilih telah berusia 17 tahun atau sudah pernah kawin itu tidak jelas dan rancu yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Akibatnya, menimbulkan kerugian berupa minimnya partisipasi masyarakat dan kemubaziran atas dana yang dikeluarkan Pemerintah dalam pelaksanaan Pemilu.

Menurutnya, memilih dan partisipasi dalam Pemilu atau mencoblos itu adalah dua hal yang berbeda dan tentunya mempunyai status hukum yang berbeda pula. Memilih itu lebih tepatnya perbuatan bathiniyah atau hati. Sedangkan mencoblos itu perbuatan anggota badan lahiriyah sehingga menghukum partisipasi dalam Pemilu (mencoblos) sebagai HAM disamakan dengan hak memilih adalah kesalahan.

Ketentuan itu dinilai bertentangan dengan konsep pemahaman hak memilih sebagai HAM. Sebab, hak asasi dalam UUD 1945 tidak boleh dibatasi, kecuali pembatasan itu diatur dalam Undang-Undang untuk menghormati hak orang lain, bukan dibatasi dengan umur dan perkawinan. Proses terpenting dalam Pemilu menggunakan hak pilih, tetapi belum ada kejelasan status apakah sebagai hak atau kewajiban? Karenanya, pemohon minta membatalkan kedua pasal itu.

Mahkamah menegaskan hak memilih dalam Pemilu merupakan hak yang dijamin konstitusi sesuai putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004. Hak ini merupakan penerapan hak atas kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan seperti dijamin Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1), (3) UUD 1945. “Hak memilih ini juga dijamin Pasal 43 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM,” paparHakim KonstitusiMuhammad Alim saat membacakan pertimbanganputusan.

MK menilai hak memilih haruslah diartikan sebagai hak bebas menentukan pilihannya  tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Sebab, hak memilih dalam Pemilu merupakan hak warga negara.Hal ini ditegaskan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang menyebutsetiap orang berhak untuk memajukan dirinyadalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara.

“Hak bagi semua warga negara untuk memilih dan dipilih secara bebas. Sebagai hak, dapat dipergunakan atau tidak dipergunakan. Sehingga dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” kata Alim.

Ditemui usai sidang, Taufiq Hasan mengatakan kalau MK memutus di luar tuntutannya. ”Jadi dalam putusannya itu mempermasalahkan memilih. Kalau memilih saya juga setuju, yang saya tuntut itu mencoblosnya bukan memilih,” keluh Taufiq usai sidang mengikuti pembacaan putusan di Gedung MK.

Di tegaskan, perihal mencoblos dan memilih harus dibedakan. Selama ini UU  Pilpres dan UU Pemilu Legislatif warga negara hanya diwajibkan untuk memilih. Padahal, pelaksanaannya mencoblos. Sehingga, seharusnya ketentuan mencoblos yang harus ditegaskan dalam kedua UU itu, bukanlah memilih. “Dalam pemilu, masyarakat mempunyai hak dan kewajiban. Haknya itu memilih dan kewajibannya itu mencoblos, jadi harus diperjelas,” lanjutnya.

Baginya, kalau sajaMK mengabulkan dengan mengubah frasa memilih dengan mencoblos dalam kedua UU itu,setidaknya akan menyadarkan sikap masyarakat tentang kewajibannya dalam mencoblos.
Tags:

Berita Terkait