DPR Periode 2009-2014, Hanya Setujui 126 RUU Jadi Undang-Undang
Utama

DPR Periode 2009-2014, Hanya Setujui 126 RUU Jadi Undang-Undang

Publik menilai kinerja DPR masih jauh dari harapan.

Oleh:
Bacaan 2 Menit
Rapat paripurna terakhir DPR periode 2009-2014, Selasa (30/9). Foto: RES.
Rapat paripurna terakhir DPR periode 2009-2014, Selasa (30/9). Foto: RES.

Harapan masyarakat terhadap DPR dalam produk legislasi sedemikian besar. Namun, selama lima tahun, anggota DPR periode 2009-2014 hanya mampu menyelesaikan 126 Rancangan Undang-Undang (RUU) hingga akhirnya disahkan menjadi sebuah Undang-Undang (UU). Hal ini disampaikan oleh Ketua DPR Marzuki Alie.

“Secara keseluruhan, dalam periode keanggotaan 2009-2014, DPR telah menyetujui 126 RUU untuk disahkan menjadi UU,” ujar Marzuki dalam pidato penutupan masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 di Gedung DPR, Selasa (30/9).

Di penghujung kepemimpinan Marzuki Alie, DPR terlihat maraton dalam rangka menyetujui sejumlah RUU menjadi UU. Misalnya RUU tentang Hak Cipta, Pemerintahan Daerah (Pemda),  Administrasi Pemerintahan, Pemilihan Kepala Daerah, Usaha Perasuransian, Pencarian Pertolongan, Jaminan Produk Halal, Perlindungan Anak, Pengelolaan Keuangan Haji, Tenaga Kesehatan, Keperawatan, Perlindungan Saksi dan Korban, Hukum Disiplin Militer, Perkebunan, Kelautan dan Konservasi Tanah.

Semuanya telah diketuk palu sidang paripurna pertanda disetujui menjadi UU. Namun, masih tersisa 27 RUU Prioritas yang masih dalam tahap pembicaraan di tingkat satu, mulai di Pansus, Panja komisi sehingga belum dapat dirampungkan.

RUU itu diantaranya adalah RUU tentang Penyiaran, RKUHAP, RKUHP, Pertanahan, Tapera, Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat, dan Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan. Khusus RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan, telah dilakukan masa perpanjangan hingga sepuluh kali masa persidangan.

“Tetapi karena tidak ada kesungguhan pemerintah untuk melanjutkan, maka tidak dapat diselesaikan,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu mengatakan, pada prinsipnya Pansus yang menangani RUU yang tidak rampung dapat dibahas oleh DPR periode 2014-2019. Pertimbangannya, kata Marzuki, lebih pada efisiensi waktu dan biaya, mulai biaya ke luar negeri dan sejumlah daerah dalam rangka menyerap aspirasi.

“Namun demikian, mengenai masalah ini carry over legislasi memerlukan payung hukum yang jelas,” ujarnya.

Marzuki menyadari pelaksanaan Prolegnas selama ini sulit mencapai target karena berbagai kendala, antara lain penentuan taget tahunan yang terlalu tinggi. Selain itu, belum sepenuhnya mempertimbangkan kapasitas dan ketersediaan waktu legislasi, bahkan lemahnya parameter yang digunakan  dalam menentukan RUU yang akan dimasukan dalam Prolegnas.

Tak jarang, dalam pembahasan sebuah RUU acapkali menemui jalan buntu khusus materi tertentu. “Karena adanya ketidaksepahaman  dan ketidaksepakatan antara pemerintah dan DPR. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi DPR yang akan datang untuk mendapat perhatian,” ujarnya.

Peneliti Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN), Ferdian Andi, mengatakan fungsi utama DPR adalah membuat UU. Meski DPR di bawah kepemimpinan Marzuki Alie masih jauh harapan, setidaknya DPR mendatang perlu mengatur legislasi yang amat prioritas.

Menurutnya, terhadap persoalan yang semestinya dapat direspon melalui peraturan pemerintah dan peraturan menteri tak seharusnya dibuat sebuah UU. “Akibat praktik over regulasi ini, DPR tersandera dengan target yang ditetapkan dalam Prolegnas, kesan DPR tidak produktif sulit dihindari. Dengan menyudahi praktik over regulasi ini secara tidak langsung melakukan penghematan anggaran di bidang legislasi,” katanya.

Direktur Ekksekutif Lembaga Survey Independen Nusantara (LSIN), Yasin Mohammad, mengatakan lembaganya melakukan survey kepada publik. Hasilnya, secara umum respon menilai kinerja DPR periode 2009-2014 masih jauh dari harapan dalam menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya. Malahan, anggota dewan jauh dari membela dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebaliknya, justru lebih mengutamakan aspirasi yang bersifat ekslusif dan mementingkan kepentingan parpol.

“Publik juga menilai bahwa kinerja wakil rakyat dalam menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi tidak serius, seperti kinerjanya dalam penganggaran, melakukan pengawasan kebijakan, dan pembuatan produk undang-undang masih belum maksimal dan dianggap politis. Sehingga publik menilai keberadaan mereka hanya pemborosan anggaran negara dan melahirkan banyak  oknum koruptor, DPR dan DPD RI justru dinilai menjadi sarang para koruptor,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait