Kitab-Kitab tentang Hukum yang Membebaskan
Fokus

Kitab-Kitab tentang Hukum yang Membebaskan

Semakin banyak karya tulis yang membahas gagasan Prof. Satjipto Rahardjo. Memahami Prof. Tjip lebih mudah jika sebelumnya sudah membaca karya-karyanya.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Sebagian buku karya tentang hukum progresif. Foto: MYS
Sebagian buku karya tentang hukum progresif. Foto: MYS
Satjipto Rahardjo telah meninggalkan dunia fana ini. Tetapi gagasan-gagasan Prof. Tjip tentang hukum progresif masih terus dikembangkan murid-muridnya hingga kini. Tak hanya lewat diskusi teratur dan penerbitan jurnal, tetapi juga menjadikan gagasan Prof. Tjip sebagai pisau analisis dalam kajian-kajian ilmiah.

Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK), Janedri M. Gafar, termasuk yang menggunakan hukum progresif sebagai pisau analisis putusan-putusan MK tentang Pemilu (Hukum Pemilu dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, Konpres Jakarta: 2013). Janedri mengambil doktor di Universitas Diponegoro Semarang, tempat Prof. Tjip selama ini mengabdi.

Berkembangnya gagasan hukum progresif di lingkungan ilmiah seolah sudah diprediksi Prof. Tjip sendiri. Sepuluh tahun lalu ia menulis untuk keperluan sebuah seminar di Semarang. “Saya kira wacana tentang hukum dan ilmu hukum progresif akan terus berkembang, baik dari pihak yang sepakat maupun yang tidak”. ‘Prediksi’ Prof. Satjipto Rahardjo itu kini menjadi kenyataan, terutama disebarluaskan oleh murid-muridnya yang disebut kaum Tjipian.

Di Varia Peradilan, majalah yang diterbitkan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), dua orang hakim Indonesia memperbincangkan hukum progresif. AM Mujahidin, seorang hakim yang bertugas di Pengadilan Agama Waingapu, menulis tentang ‘hukum progresif sebagai jalan keluar dari keterpurukan hukum di Indonesia’. Menurut Mujahidin, kontribusi terbesar dari paradigma hukum progresif adalah menjadikan para jurist sosok manusia sebenar-benar manusia, bukan manusia seperti robot yang berisi software hukum.

Hakim lain, Jimmy Maruli, memberi tanggapan atas tulisan Mujahidin dengan sedikit menantang. Lewat tulisan “Dicari Putusan yang Progresif”, Maruli justru meminta para hakim untuk mengeluarkan putusan-putusan yang progresif. Menurut dia, harus ada proses dialektis untuk memecah kejumudan literer lembaga peradilan.

Makalah Mujahidin dan Maruli hanya sebagian kecil dari karya yang mengulas hukum progresif di kalangan hakim. Bibliografi hukum progresif terus berkembang sejak gagasan hukum progresif mulai mendapat tempat dalam khasanah ilmu hukum di Indonesia, terutama di kampus-kampus Fakultas Hukum (FH) di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Puluhan bahkan mungkin ratusan makalah sudah ditulis di berbagai media. Di Semarang dan Yogyakarta, diskusi tentang hukum progresif intens digelar, dan para pembicaranya seringkali membuat makalah. Sebagian diterbitkan dalam jurnal kampus, bahkan jurnal yang jauh dari ‘pusat’ hukum progresif. Misalnya tulisan Dey Ravena ‘Konsepsi dan Wacana Hukum Progresif’ di jurnal Suloh (April 2009) yang diterbitkan Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, Aceh.

‘Tantangan’ Maruli terjawab antara lain lewat karya Ahmad Rifai ‘Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif’ (2011). Dalam bukunya Rifai, seorang hakim, memberikan sejumlah contoh putusan hakim yang menggunakan paradigma hukum progresif. Secara konseptual, upaya membangun budaya hakim yang berbasis hukum progresif dituliskan M. Syamsudin, seorang akademisi, lewat karyanya Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif (2012). Syamsudin juga menyelesaikan doktor ilmu hukum di Undip, Semarang.

Paradigma hukum progresif juga dikembangkan pada fungsi-fungsi aparat penegak hukum lain. Sekadar member contoh, Hartono, seorang anggota polisi, telah menghasilkan buku Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum Progresif (2010). Di level penuntutan, tak mungkin mengabaikan karya Yudi Kristiana, seorang jaksa KPK, ‘Menuju Kejaksaan Progresif, Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi’ (2009). Secara umum, bisa juga dibaca karya Mahmud Kusuma, ‘Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigmatik atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia’, (LSHP 2009).

Demikianlah gagasan-gagasan hukum progresif Prof. Satjipto menyebar dan disebarkan lewat beragam karya, terutama murid-muridnya, atau orang yang bersinggungan dengan pikiran-pikirannya. Wahyu Nugroho, dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, meyakini perkembangan bibliografi hukum progresif akan terus terjadi sejalan dengan karakter hukum progresif yang terus berusaha mencari dan mencari. “HP tidak akan pernah berhenti,” ujarnya kepada hukumonline.

Thafa Media
Thafa Media, perusahaan penerbit di Yogyakarta, termasuk yang rajin mempublikasikan buku-buku tentang hukum progresif. Memahami Hukum Progresif, karya Faisal – dosen Universitas Bangka Belitung—termasuk buku terbaru (2014) yang diterbitkan perusahaan ini. Dalam bukunya Faisal menguraikan filsafat hukum progresif, hukum progresif yang melampaui Hans Kelsen, dan model berpikir relasional dalam hukum progresif. Seperti pengikut Tjipian lainnya, Faisal juga berpandangan hukum progresif membongkar alam pikir hukum modern dan melampaui positivisme hukum. Faisal saat ini tercatat sebagai mahasiswa doktor ilmu hukum di Undip Semarang.

Penerbit yang sama pula menerbitkan buku Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Suatu Pendekatan Hukum Progresif (2014) karya Hernold Ferry Makawimbang. Hernold memberikan paparan pada Konsorsium Hukum Progresif yang diselenggarakan di Semarang tahun lalu. Bukunya membahas pandangan mengenai kerugian keuangan Negara di sejumlah Pengadilan Tipikor di Indonesia.

Untuk menyebut contoh lain yang diterbitkan Thafa Media adalah ‘Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif’ kumpulan tulisan yang dieditori oleh Moh. Mahfud dkk (2013). Buku ini berisi makalah-makalah dari peserta Konsorsium Hukum Progresif 2013. Tebalnya hingga 930 halaman.

Menyelami Prof. Tjip
Untuk memahami hakikat dan paradigma hukum progresif sebagaimana digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo tak mungkin dilakukan tanpa membaca karya-karyanya. Baik kajian orang lain atas pemikirannya maupun (terutama) karya Prof. Tjip sendiri.

Salah satu karya monumental yang ditulis murid Prof. Tjip adalah tulisan Awaluddin Marwan, yakni ‘Satjipto Rahardjo, Sebuah Biografi Intelektual dan Pertarungan Tafsir Terhadap Filsafat Hukum Progresif’ (Nov 2013). Sebelumnya, Epistema Institute dan HuMA sudah menerbitkan buku Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif: Urgensi dan Kritik (editor Myrna A Safitri, Awaluddin Marwan dan Yance Arizona, 2011). Buku ini memuat tulisan sejumlah tokoh antara lain seperti mantan Ketua MK Moh. Mahfud MD, wakil ketua KPK Busyro Muqoddas, hakim agung Artidjo Alkostar, jaksa KPK Yudi Kristiana, mantan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim, akademisi Sidharta, Guru Besar FH Undip Suteki, Aloysius Wisnubroto (FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta), Anthon F. Susanto(Universitas Pasundan).

Murid-murid Satjipto di program magister ilmu hukum Undip juga pernah menerbitkan  ‘Evolusi Pemikiran Hukum Baru: Dari Kera ke Manusia, Dari Positivistik ke Progresif (2009). Tiga tahun sebelumnya telah terbit ‘Menggagas Hukum Progresif Indonesia’ hasil kerjasama IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum Undip (2006). Buku ini diangkat dari bahan seminar hukum progresif di Semarang 8 Desember 2004, pembicaranya Pak Tjip sendiri, mantan hakim agung Busthanul Arifin, Prof. Muladi, dan Prof. Qodri Azizy (Guru Besar Ilmu Hukum IAIN Walisongo).

Semua karya itu mencoba menggali dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Satjipto Rahardjo. Satu persatu gagasan Prof. Tjip dibedah, seperti kumpulan artikelnya yang dibukukan murid-murid doktoralnya Membedah Hukum Progresif (Kompas, 2006).

Karya atau tulisan Prof. Tjip selama puluhan tahun mengabdi sebagai akademisi memang tersebar baik dalam bentuk buku maupun makalah dan artikel. Awaludin Marwan mencatat Satjipto Rahardjo menghasilkan 23 buku sepanjang karirnya. Data lain yang juga dikutip Awaludin menunjukkan sepanjang periode 1991-2000, Prof. Tjip menulis 178 artikel di media massa. Ini berarti 14 artikel setiap tahun.

Karakter hukum progresif yang digagas Prof. Tjip bisa dilihat dari karya-karyanya seperti Ilmu Hukum (2000), Sisi-Sisi Lain dari Hukum Indonesia (2003), Ilmu Hukum Pencarian, Pembebasan, dan Pencerahan (2004), Hukum dalam Jagat Ketertiban (2006), Menggagas Hukum Progresif Indonesia (2006), Biarkan Hukum Mengalir (2007), Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (2008).

Karya lainnya adalah Lapisan-Lapisan dalam Studi Hukum (2009), Hukum dan Perilaku, Hidup Baik Adalah Dasar Hukum yang Baik (2009), Hukum dan Perubahan Sosial, Suatu Tinjauan Teoritis Serta Pengalaman-Pengalaman di Indonesia (2009), Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (2009). Tentu saja tak mungkin diabaikan makalahnya yang ditulis dalam buku lain seperti ‘Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks’, dalam Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi (2009). Pidato pengukuhan dan purna baktinya juga patut dikaji jika ingin mendalami hukum progresif: “Manfaat Telaah Sosial Terhadap Hukum” (pidato pengukuhan, 13 Desember 1980), dan “Mengajarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan, Tiga Puluh Tahun Perjalanan Intelektual dari Bojong ke Pleburan” (pidato purnabakti, 15 Desember 2000).

Daftar karya tentang hukum progresif akan terus bertambah. Yang pasti, dalam gagasan Prof. Tjip, hukum itu harus membebaskan. Hukum itu diabdikan untuk manusia, bukan sebaliknya. Hukum progresif itu berusaha keluar dari kekangan teks. Hukum yang dibaca sekadar teks mati akan berbahaya.

Satjipto sering mengutip pandangan hakim agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes tentang hukum. Kata Holmes, the life of the law has not been logic, it has been experience. Hukum tak hanya tampil sebagai peraturan rule, tetapi juga perilaku manusia (behavior). Mungkin saja hakim membuat putusan yang tidak berkualitas  menurut Undang-Undang  tetapi putusan itu dibuat menurut pendapatnya yang bebas dan membahagiakan manusia.
Tags:

Berita Terkait