Advokat Indonesia Dinilai Belum Siap Menghadapi MEA 2015
Polling Desember 2014

Advokat Indonesia Dinilai Belum Siap Menghadapi MEA 2015

Sekjen PERADI menilai advokat Indonesia harus meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris dan keahlian hukum untuk bisa bersaing secara global.

Oleh:
HAG
Bacaan 2 Menit
Foto: RES (Ilustrasi).
Foto: RES (Ilustrasi).
Mayoritas pembaca Hukumonline.com berpendapat advokat Indonesia belum siap menghadapi persaingan advokat asing dalan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 mendatang, demikian hasil polling pembaca yang digelar sepanjang Desember 2014.

Dalam polling yang digelar dari 1 hingga 31 Desember 2014, Hukumonline mengajukan pertanyaan kepada pembaca, “Apakah advokat Indonesia sudah siap bersaing dengan advokat asing pada MEA 2015?” Atas pertanyaan itu, Hukumonline menyediakan tiga jawaban singkat, yakni belum, sudah, dan tidak tahu.

Hingga polling ini ditutup, total votes yang masuk berjumlah 216 pemilih. Mayoritas pemilih (61 persen) menyatakan advokat Indonesia belum siap bersaing dengan advokat asing di MEA 2015. Sedangkan, 31 persen memilih sudah siap bersaing, dan 8 persen memilih tidak tahu.

Topik ini diambil karena tahun 2015 merupakan tahun dimulainya pasar bebas untuk kawasan ASEAN dimana setiap orang dari luar Indonesia di negara ASEAN boleh bekerja di Indonesia. Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sendiri juga telah mengadakan dua kali ujian advokat asing.

Di kalangan advokat sendiri, optimisme atas daya saing advokat Indonesia dengan advokat asing juga belum terbangun. Hasanuddin, Sekretaris Jenderal PERADI, mengatakan daya saing antara sesama advokat di Indonesia pun belum merata. Misalnya, daya saing antara advokat di Jakarta dengan advokat di daerah-daerah lain di Indonesia.

“Selama 12 tahun keliling Indonesia, salah satu yang saya miris, jangankan globalisasi atau MEA, perbedaaan (gap) antara advokat Jakarta dengan daerah lain sangat luar biasa. Kita di antara daerah saja perbedaannya luar biasa. Oleh karena itu, tidak yakin (Hanya 31 persen pembaca yang memilih advokat Indonesia sudah siap bersaing,-red). Mungkin yang siap lebih jauh di bawah itu.” ujar Hasanuddin.

Ada dua hal, menurut Hasanuddin yang membuat advokat Indonesia belum siap bersaing dengan advokat asing, yaitu bahasa dan sistem hukum. Mengenai bahasa “English for Lawyer” merupakan hal yang sangat penting. Dengan adanya kemajuan teknologi sehingga tidak ada batas negara dalam menjalankan profesi, terutama konsultan hukum yang membutuhkan kemampuan bahasa.

“Saya  membayangkan bukan hanya MEA tapi secara global advokat, dengan teknologi yang hampir maju ini, tidak ada batas negara dalam menjalankan profesi terutama yang berkaitan dengan konsultan hukum, berbeda dengan litigation lawyer. Sehingga bahasa merupakan hal yang utama menurut saya,” jelasnya.

Sedangkan mengenai sistem hukum, menurut Hasanuddin, antar negara dan kawasan memang sangat berbeda, sehingga perlu waktu untuk MEA. “Dua hal ini, menurut saya perlu dibicarakan secara serius, apakah di tingkat ASEAN atau internasional,” tambahnya
.
Mengenai keberadaan advokat asing pada MEA 2015, Hasanuddin berkeyakinan berdasarkan peraturan bahwa advokat asing belum diizinkan untuk beracara di persidangan Indonesia. “Seingat saya jasa advokat belum masuk dalam daftar MEA. Karena UU belum ada perubahan karena advokat asing hanyalah karyawan di kantor advokat Indonesia. Tidak dimaksud untuk bisa menjadi litigation lawyer,” jelasnya.

Menurut Hasanuddin, sedikitnya ada dua hal yang harus dikembangkan untuk advokat Indonesia untuk dapat bersaing dengan advokat asing, yaitu bahasa (utamanya bahasa Inggris) dan keahlian hukum. 

“Saya ingin mempercepat pengetahuan hukum dan juga bahasa, tanpa dua itu mungkin kita akan terus ketinggalan. Sekarang saja mungkin saat ini advokat asing pulang balik juga, dan itu pertanda Indonesia sudah menjadi pasar secara gelap untuk advokat asing. Itu nggak boleh terjadi semestinya,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait