MUI Keluarkan Fatwa Transaksi Hedging Syariah
Utama

MUI Keluarkan Fatwa Transaksi Hedging Syariah

Sebagai bentuk jawaban dari kerisauan industri jasa keuangan selama ini.

FAT
Bacaan 2 Menit
Ketua MUI KH Ma'ruf Amin. Foto: SGP
Ketua MUI KH Ma'ruf Amin. Foto: SGP
Setelah sekian lama dibahas dalam working group perbankan syariah (WGPS), akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa perbankan syariah boleh melakukan transaksi hedging atau lindung nilai. Perjalanan pembahasan WGPS ini telah memakan waktu yang tak sebentar.

Bahkan, WGPS sempat terhenti sejenak saat fungsi pengawasan dan regulasi perbankan berpindah dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketua Dewan Syariah Nasional MUI, Ma’ruf Amin, mengatakan setelah OJK efektif bekerja, WGPS kembali dibentuk dan akhirnya menyepakati adanya fatwa ini.

“Kenapa (fatwa, red) dibutuhkan? Karena kondisi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar sangat berfluktuasi, karena itu diperlukan ada fatwa ini,” kata Ma’ruf di Jakarta, Kamis (2/4).

Fatwa ini berkaitan dengan Fatwa DSN MUI Nomor: 28/DSN-MUI/2002 tentang Jual Beli Mata Uang. Dalam fatwa tersebut yang dibolehkan hanya satu bentuk akad, yaitu transaksi spot. Fatwa tersebut memberikan makhraj syar’i berupa forward agreement tanpa memberikan penjelasan dan rincian lagi. Maka itu, fatwa yang baru ini memberikan penjelasan dan rincian mengenai forward agreement tersebut.

“Di samping kebutuhan pasar yang mendesak memandang perlu untuk mengeluarkan fatwa lindung nilai syariah atas nilai tukar sebagai panduan bagi masyarakat, pelaku usaha serta lembaga keuangan dalam melakukan lindung nilai yang sesuai dengan syariah,” tutur Ma’ruf.

Dalam fatwa ini, lanjut Ma’ruf, terdapat sejumlah syarat dan batasan sehingga transaksi hedging tidak dilakukan untuk tujuan spekulatif. Pertama, lindung nilai syariah atas nilai tukar hanya boleh dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata pada masa yang akan datang terhadap mata uang asing yang tak bisa dihindarkan, dalam transaksi yang sah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, hak pelaksanaan wa’d (janji) dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh diperjualbelikan. Ketiga, obyek lindung nilai syariah atas nilai tukar adalah paparan risiko karena posisi aset atau liabilitas dalam mata uang asing tidak seimbang, kewajiban atau tagihan dalam mata uang asing yang timbul dari transaksi sesuai prinsip syariah dan pokok pinjaman apabila lindung nilai dilakukan atas kewajiban pinjaman yang diterima oleh lembaga non keuangan.

Keempat, obyek lindung nilai syariah atas nilai tukar antara lain berupa simpanan dalam mata uang asing, kewajiban dalam transaksi yang menggunakan mata uang asing, kebutuhan dalam mata uang asing untuk penyelenggaraan haji/umroh dan biaya perjalanan ke luar negeri sesuai prinsip syariah. Kebutuhan dalam mata uang asing untuk biaya pendidikan di luar negeri dan kebutuhan dalam mata uang asing lainnya yang sesuai prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam fatwa ini juga terdapat definisi mengenai pelaku transaksi lindung nilai syariah. Mereka adalah lembaga keuangan syariah (LKS), lembaga keuangan konvensional dalam kapasitas hanya sebagai penerima lindung nilai dari LKS, Bank Indonesia, lembaga bisnis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan piihak lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di tempat yang sama, Direktur Perbankan Syariah OJK Dhani Gunawan mengatakan, fatwa ini diterbitkan sebagai bentuk jawaban dari kerisauan pelaku jasa keuangan syariah. Menurutnya, selama ini banyak industri jasa keuangan syariah yang mempertanyakan mengenai status fatwa dari transaksi hedging. Ia berharap, dengan adanya fatwa ini dapat membantu kebutuhan nasabah di perbankan syariah.

“Tujuan fatwa ini betul-betul untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi tidak dijadikan spekulatif. Kami akan memastikan transaksi dilakukan bank syariah tidak terjadi penyimpangan,” kata Dhani.

Ia menegaskan, fatwa ini akan ditindaklanjuti OJK dengan mengeluarkan peraturan. Namun, ia belum bisa memastikan apakah hal tersebut dalam bentuk Peraturan OJK (POJK) atau Surat Edaran OJK (SE OJK). “Dasarnya kita ingin terbitkan peraturan sehingga dapat dipahami pelaku usaha secara jelas,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait