Demi Kepastian Hukum, PU Keluarkan SE Soal Pengelolaan SDA
Berita

Demi Kepastian Hukum, PU Keluarkan SE Soal Pengelolaan SDA

WALHI menilai, seharusnya seluruh dokumen tata usaha negara yang berkaitan dengan SDA dinyatakan tak lagi berkekuatan hukum.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono. Foto: http://dokpub.pu.go.id
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono. Foto: http://dokpub.pu.go.id
Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air tak bisa lagi menjadi sumber hukum yang mengalirkan kekuatan pengaturan pasca dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Maret 2014. Menindaklanjuti hal itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, bertindak sigap.

Pada bulan Maret lalu, ia menetapkan surat edaran yang disampaikan kepada seluruh gubernur, bupati/wali kota, dan pejabat eselon I di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Surat Edaran No. 04/SE/M/2015 itu memuat lima bagian.

Bagian pertama merupakan penjelasan urgensi dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (SE PU) tersebut. Disebutkan di dalam bagian itu, SE PU merupakan langkah yang diambil pemerintah untuk memberikan kepastian hukum dalam hal penggunaan sumber daya air (SDA).

Para pihak yang menjadi subjek kepastian hukum tersebut adalah pelaku usaha pemegang izin maupun para pihak yang terlibat dalam kontrak kerja sama antara pemerintah. Pasalnya, Keputusan MK No. 85/PUU-XI/2013 dinilai telah menimbulkan kekosongan hukum terkait izin dan kontrak kerja sama penggunaan SDA. Dalam bagian ruang lingkup, SE PU menegaskan prinsip pengelolaan SDA sebagaimana diputuskan oleh MK. Secara rinci dijabarkan enam prinsip yang menjadi batasan dalam pengelolaan SDA.

Sementara itu, poin dua bagian ruang lingkup merupakan pengaturan mengenai izin penggunaan SDA. Di dalam SE PU tersebut ditentukan bahwa seluruh izin penggunaan SDA yang menggunakan air permukaan yang diterbitkan sebelum putusan MK, masih tetap berlaku. Kendati demikian, izin tersebut harus dievaluasi terkait dengan enam prinsip pengelolaan SDA. Evaluasi itu dilakukan oleh instansi pemberi izin sesuai tingkatannya, baik di daerah maupun pusat.

Di sisi lain, SE PU mengatur juga mengenai permohonan izin baru maupun perpanjangan. Di dalam beleid itu diatur bahwa izin penggunaan SDA yang menggunakan air permukaan, baik yang sedang dalam proses permohonan atau perpanjangan harus menerapkan enam prinsip pengelolaan SDA yang diamanatkan MK.

Adapun mengenai kontrak kerja sama pemerintah dan swasta dalam sistem penyediaan air minum perpipaan, juga diakui keberlakuannya. Hanya saja, kontrak tersebut sudah harus ditandatangani sebelum adanya putusan MK. Namun, sebagaimana izin yang juga masih dianggap berlaku, kontrak-kontrak itu tetap harus dievaluasi. Hanya saja, proses evaluasi dalam kontrak dilakukan melalui renegosiasi antara pemerintah dengan pihak kontraktor.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilai, seharusnya seluruh dokumen tata usaha negara yang berkaitan dengan SDA dinyatakan tak lagi berkekuatan hukum. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Abetnego Tarigan, melalui laman organisasinya menyampaikan bahwa dokumen tata usaha negara itu tak memandang apakah diterbitkan oleh menteri, gubernur maupun bupati/walikota. Ia juga menekankan dokumen itu termasuk perizinan atau yang berbentuk keputusan.

Menurut Abetnego, ketidakberlakuan itu karena sumber hukum yang membenarkan terbitnya produk tata usaha negara tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. Ia mengatakan bahwa dasar pemikiran itu lahir dari Pasal 6 Ayat (1) huruf i dan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Karena sumber hukum yang membenarkannya tidak berkekuatan hukum, maka seluruh produk hukum turunannya pun menjadi tak berkekuatan hukum,” paparnya.

Abetnego mengomentari pengaturan mengenai keberlakuan kontrak SDA. Menurutnya, seluruh perusahaan-perusahaan swasta yang memanfaatkan SDA pasca putusan MK itu tidak lagi memiliki dasar hukum.

Ia merinci, perusahaan itu tak hanya terbatas pada mereka yang menggunakan SDA sebagai bahan kebutuhan produksi utama perusahaan yaitu perusahaan air kemasan, tetapi juga perusahaan yang menggunakan SDA sebagai kebutuhan pendukung produksi perusahaan, seperti perusahaan tambang dan perkebunan.

Secara gamblang Abetnego menyebut, aktivitas perusahaan yang masih terus menerus memanfaatkan SDA merupakan tindakan illegal. Ia mengatakan, hal itu bisa dikategorikan sebagai bentuk pencurian atau perampasan sumber daya alam yang dapat menimbulkan kerugian negara. Dia mengatakan bahwa tindakan perusahaan itu merupakan kejahatan sebagaimana tercantum pada Pasal 15 Ayat (1) huruf b dan Ayat (2) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan.

“Di banyak tempat, penguasaan air secara sepihak ini menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait