Eks Jaksa Persoalkan Jangka Waktu Gugatan TUN
Berita

Eks Jaksa Persoalkan Jangka Waktu Gugatan TUN

Majelis menganggap permintaan menghapus Pasal 55 UU PTUN justru berpotensi timbulkan masalah ketidakpastian hukum.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Tak terima dipecat, seorang mantan jaksa dari Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, Jack Lourens Valentino mempersoalkan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait jangka waktu gugatan TUN. Pasalnya, ketentuan jangka waktu 90 hari dapat diajukan gugatan PTUN dianggap menghambat haknya untuk menggugat SK Jaksa Agung terkait pemecatan dirinya ke PTUN.

“Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya dalam upaya mengajukan gugatan ke PTUN atas pemberhentian tidak hormat berdasarkan SK Jaksa Agung karena jangka waktu dibatasi hanya 90 hari,” ujar Jack Lourens dalam sidang perdana yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang MK, Kamis (21/5).    

Pasal 55 UU PTUN menyebutkan, “Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”     

Dia menjelaskan Pasal 55 UU PTUN memberikan batas waktu pengajuan gugatan PTUN maksimal 90 hari sejak diterima atau diumumkannya Surat Keputusan pemecatan dirinya dari Jaksa Agung Basrief Arief. Akibatnya, dirinya kehilangan hak mengajukan gugatan ke PTUN setempat karena saat terbitnya SK Jaksa Agung tertanggal 13 Januari 2013 Laurens tengah menjalankan hukuman pidana. “Ketika itu saya sedang dalam penjara, bagaimana bisa mengajukan gugatan ke PTUN dengan batas waktu segitu,” ungkap Laurens.

Basrief mengeluarkan pemecatan pada 13 Januari 2013, setelah ada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang menghukum ‎Lourens selama satu tahun penjara dalam kasus suap penanganan kasus di Halmahera Barat. Lourens sendiri membantah telah menerima suap. Ia mengklaim selalu profesional sebagai penyidik dan jaksa penuntut dalam kasus korupsi. “Saya dijebak oleh orang dalam,” klaimnya.

Dalam permohonannya, Lourens menganggap ketentuan batas waktu 90 hari mengajukan gugatan TUN itu diskriminatif dan tak masuk akal bagi warga yang berdomisili di Indonesia Bagian Timur karena terkendala kondisi geografis, seperti transportasi, biaya, dan jaraknya yang sulit diakses.

Misalnya, di Wilayah Indonesia Timur, PTUN hanya ada di Ibukota Provinsi yang jaraknya hingga ratusan kilometer dari berbagai daerah. Bahkan, di Maluku, PTUN bisa dijangkau setelah melalui jalur laut, udara, dan darat. ”Di Papua lebih parah. Bagaimana bisa mencari keadilan kalau ada batas waktu seperti itu,” kata dia.

Karena itu, pemohon meminta agar MK menghapus Pasal 55 UU PTUN karena bertentangan dengan UUD 1945. “Kita minta pasal itu dicabut saja, agar ketentuan gugatan PTUN dibebaskan jangka waktunya, seperti ketentuan pengajuan peninjauan kembali (PK),” harapnya.

Menanggapi permohonan, Anggota Majelis Maria Farida Indrati menilai permintaan menghapus Pasal 55 UU PTUN justru berpotensi bisa menjadi masalah. Soalnya, apabila tanpa pembatasan waktu pengajuan, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para pencari keadilan dan kekosongan hukum. Apalagi, putusan MK bersifat erga omnes yang berlaku bagi seluruh warga negara.

”Jadi tolong permohonan ini dipertimbangkan kembali, apakah memang mau dihapus atau disampaikan kira-kira berapa lama waktu jangka waktunya yang menurut pemohon sesuai,” saran dia. “Toh, jika MK mengabulkan, putusan ini tak berlaku surut atau dapat membatalkan SK pemecatan dari Jaksa Agung.”

Hal senada disampaikan Wahiduddin Adams yang menyatakan Pasal 55 UU PTUN telah mengandung kepastian hukum. Menurutnya, selama ini reformasi peradilan selalu mengarah pada proses dan sistem peradilan yang cepat, adil dan murah, sehingga permintaan penghapusan Pasal 55 UU PTUN justru bertentangan dengan asas peradilan yang cepat.

“Pasal serupa juga sudah pernah diajukan pada 2007 yang kemudian ditolak MK. Lagipula, kalau dikabulkan hasilnya tetap tak berpengaruh untuk mengembalikan jabatan jaksa tersebut. Sebab, SK Jaksa Agung sudah terjadi dua tahun lalu,” kata Wahiduddin.

Menanggapi saran hakim, Lourens berniat memasukan tuntutan provisi agar bisa menunda berlakunya SK Jaksa Agung dalam perbaikan permohonan. Harapannya, dengan cara ini, putusan MK akan berpengaruh untuk membatalkan surat pemecatan tersebut. “Masukkan saja semuanya. Kami tunggu perbaikan permohonan hingga 3 Juni 2014 pukul 14.00 WIB,” kata Anwar Usman.

Untuk diketahui, pengadilan menjatuhkan vonis 1 tahun kepada pemohon karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi atau suap saat menjadi jaksa penyidik pada Kejati Maluku Utara. Pemberian suap ini terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek agribisnis berbasis rumput laut dana cadangan umum Tahun Anggaran 2007 pada Bappeda Maluku Utara. Lalu, pemohon diberhentikan sebagai jaksa atas dasar SK Jaksa Agung Basrief Arief.

Berdasarkan catatan hukumonline, Pasal ini juga pernah dipersoalkan seorang eks diplomat Indonesia, Endo Suhendo, ke MK. Permohonan Endo ditolak MK antara lain dengan menggunakan argumentasi fiksi hukum. Setiap orang dianggap tahu hukum.
Tags:

Berita Terkait