Karena itu, Pasal 67 huruf b UU No. 14 Tahun 1985 justru memberikan kepastian hukum karena membuka kesempatan kepada para pihak untuk mengupayakan keadilan dalam proses peradilan. Sebaliknya, apabila permohonan ini dikabulkan tidak ada dasar hukum mengajukan PK perkara perdata jika ada bukti surat/tertulis yang ditemukan setelah putusan.
“Atas dasar pertimbangan ini, menurut Mahkamah permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.”
Untuk diketahui, Daniel dipecat dari korps Bhayangkara melalui Sidang Komisi Etik pada 30 April 2011 setelah menjalani vonis 9 bulan penjara gara-gara terbukti merampas kemerdekaan orang lain. Ia kemudian menggugat Kapolda Metro Jaya dan menang pada 18 November 2011 melalui PTUN yang mencabut SK pemecatan Daniel.
Tak terima, Kapolda Metro Jaya mengajukan banding hingga kasasi, tetapi tetap kalah. Hingga akhirnya Kapolda Metro Jaya mengajukan PK. Pada 23 Mei 2013 lalu, MA mengabulkan PK Kapolda Metro Jaya. Sebenarnya, majelis PK menolak novum yang diajukan Kapolda, tetapi majelis memutuskan memeriksa sendiri perkara, dan akhirnya mengabulkan permohonan.
Akibat putusan MA ini, Daniel merasa didiskriminasi karena PK yang dikabulkan MA itu menolak adanya novum. Daniel menilai norma Pasal 67 huruf b UU MA tidak tegas menyebutkan ada atau tidaknya novum sebagai dasar PK. Karenanya, Daniel meminta MK memberikan tafsir atas keberadaan Pasal 67 huruf b UU MA itu.
“Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Arief Hidayat saat membacakan putusan bernomor 81/PUU-XII/2014
Daniel mempersoalkan Pasal 67 huruf b UU MA terkait kasus pemecatan yang dialaminya. Awalnya, Daniel berhasil berjuang membatalkan SK pemecatannya melalui proses hukum di PTUN hingga kasasi. Namun, putusan itu digugurkan melalui putusan peninjauan kembali (PK) atas dasar adanya novum.
Mahkamah menilai dalil pemohon yang menyatakan Pasal 67 huruf b UU MA dianggap diskriminatif tidak tepat. Justru, Pasal 67 huruf b UU MA telah memberi kesempatan para pihak mengajukan PK jika ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
“Hal itu baru dapat menjadi kewenangan Mahkamah apabila diberi kewenangan UUD 1945 mengadili permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint),” lanjutnya.