Ini Aturan Jaminan Hari Tua
Berita

Ini Aturan Jaminan Hari Tua

Manfaat JHT berupa uang tunai.

ADY
Bacaan 2 Menit
Ini Aturan Jaminan Hari Tua
Hukumonline
Salah satu program jaminan sosial adalah  jaminan hari tua. Teknis pelaksanaan program itu baru diatur pada akhir Juni lalu, lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). PP itu dibentuk dalam rangka melaksanakan ketentuan pasal 37 ayat (5) dan pasal 38 ayat (3) UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia atau cacat total tetap. Peserta JHT adalah pekerja, termasuk pekerja asing yang bekerja di Indonesia paling singkat enam bulan. Iuran dibayar oleh pekerja dan pemberi kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan. Pekerja menanggung iuran 2 persen dan pemberi kerja 3,7 persen. Perlu diingat, kepesertaan seluruh program yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan bersifat wajib.

Dalam melakukan pendaftaran, pemberi kerja wajib menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi secara lengkap dan benar, meliputi data diri dan data pekerja serta anggota keluarga kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 30 hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima. Jika pemberi kerja lalai tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program JHT maka pekerja berhak mendaftarkan dirinya sendiri dalam program JHT. Setelah datanya diverifikasi, BPJS Ketenagakerjaan akan menagih iuran kepada pemberi kerja.

Bagi peserta bukan penerima upah, besaran iuran dibayar berdasarkan penghasilan peserta yang ditetapkan pada daftar sebagimana diatur dalam lampiran PP. Misalnya, seorang peserta berpenghasilan sampai dengan 1.099.000, dasar upah yang digunakan untuk iuran JHT yaitu Rp1.000.000, maka besaran iuran JHT yang bersangkutan Rp20.000 setiap bulan.

Mengenai manfaat, besarannya sesuai dengan nilai akumulasi seluruh iuran yang telah disetor, ditambah hasil pengembangan yang tercatat dalam rekening perorangan peserta. “Manfaat JHT berupa uang tunai yang dibayarkan apabila peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia atau mengalami cacat total tetap,” demikian bunyi pasal 22 ayat (2) PP JHT.

Dalam rangka mempersiapkan diri memasuki pensiun, pasal 22 ayat (4) PP JHT menjelaskan pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas waktu tertentu apabila peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun.

Pasal 5 melanjutkan, pengambilan manfaat JHT sampai batas tertentu sebagaimana dimaksud ayat (4) paling banyak 30 persen dari jumlah JHT, yang peruntukannya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10 persen untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun. Apabila peserta meninggal dunia, manfaat JHT diberikan kepada ahli waris yang sah.

Untuk tata cara pembayaran JHT, manfaat wajib dibayar kepada peserta apabila peserta mencapai usia pensiun, mengalami cacat total tetap,  meninggal dunia, atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.

Sanksi administratif, akan diberikan kepada pemberi kerja selain penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 6, 7 ayat (1), 9 ayat (2), 10 ayat (2) dan ayat (3), 11 ayat (4), 19 ayat (1) dan ayat (2) dan pasal 24. Sanksi administratif dapat berupa teguran tertulis,  denda, dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu meliputi perizinan terkait usaha, izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA), izin perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh (outsourcing,-red), atau izin mendirikan bangunan (IMB).

Pengawasan dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota.

Bagi peserta yang tidak puas terhadap pelayanan program JHT yang diberikan BPJS Ketenagakerjaan, peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada BPJS Ketenagakerjaan. Guna menangani pengaduan itu pasal 36 ayat (2) PP mengamanatkan BPJS Ketenagakerjaan membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan pada kantor wilayah dan/atau kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan.

Jika peserta masih tidak puas terhadap penanganan pengaduan yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan maka pengaduan itu dapat disampaikan kepada instansi setempat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Tags:

Berita Terkait