Sebuah Diskursus Wajib Lapor Profesi Penjaga Gawang
Fokus

Sebuah Diskursus Wajib Lapor Profesi Penjaga Gawang

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkali-kali nama notaris terseret. Berkat jasa notaris, seorang terdakwa bisa menumpuk kekayaannya dari hasil korupsi, sehingga kekayaan itu seolah-olah legal.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Meskipun sudah berkali-kali disebut, jarang terdengar organisasi notaris memberikan sanksi tegas kepada notaris yang ikut membantu seseorang menumpuk kekayaan secara tidak sah, atau melakukan pencucian uang seperti membeli properti. Apakah memang notaris tak bisa dipersalahkan kalau ‘membantu melakukan’ pencucian uang oleh seorang klien yang datang ke kantornya?

Pertanyaan yang sama bisa diajukan kepada advokat, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan. Sebab, jasa yang mereka berikan berkaitan dengan langkah klien atau nasabah mereka mengurus transaksi keuangan. Mulai dari membelanjakan uang ke properti tertentu, membuat perjanjian, menghitung pemasukan dan pengeluaran, hingga merencanakan tabungan masa depan. Itulah sebabnya mereka disebut profesi penjaga gawang (gatekeeper).

Sebenarnya, tak ada yang salah dari pendampingan para pemangku profesi itu kepada klien mereka. Sudah menjadi tugas profesional mereka membantu sesuai kebutuhan si klien. Tetapi jika terseret pada perbuatan jahat klien, profesi-profesi tadi harus siap menanggung resiko. Fakta yang terungkap di sejumlah sidang Pengadilan Tipikor mengkonfirmasi dugaan keterlibatan profesi gatekeeper.

Risetterbaru yang dilansir Indonesian Legal Roundtable (ILR) dalam rangka indeksasi konsep negara hukum, rule of law, menyinggung tentang keterlibatan pengacara para pihak dalam melakukan intervensi terhadap hakim. Kasus-kasus penangkapan advokat oleh KPK semakin memperkuat dugaan keterlibatan pengacara dalam tindak pidana.

Riset yang dilakukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lebih luas lagi. Riset lembaga ini memperlihatkan bahwa advokat, notaris, PPAT, akuntan publik, dan perencana keuangan rentan dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan klien mereka. Para pelaku memanfaatkan pemberi jasa kepada mereka untuk berlindung. Caranya? “Berlindung di balik ketentuan kerahasiaan hubungan profesi,” kata Agus Santoso, Wakil Kepala PPATK.

Hasil riset itu juga yang disampaikan saat proses penyusunan beleid yang akhirnya menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Berdasarkan beleid ini, advokat dan para professional gatekeeper diwajibkan menerapkan prinsip mengenali klien. Jika tahu ada perbuatan tindak pidana pencucian uang, segera lapor PPATK.

Klien adalah hidup matinya adavokat, notaris, PPAT, akuntan publik dan perencana keuangan. Kewajiban ini sensitif buat mereka karena para gatekeeper mendapatkan honorarium dari jasa yang mereka berikan kepada klien. Karena itu, PPATK mencoba mempertemukan para profesional itu untuk membahas PP No. 43 Tahun 2015. Setelah wakil pemerintah menjelaskan latar belakang lahirnya beleid itu, para perwakilan profesi diberi kesempatan menanggapi.

Seperti diduga sebelumnya, perwakilan profesi selalu mengungkapkan hubungan rahasia mereka dengan klien. Fauzi Yusuf Hasibuan, pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia yang diundang ke acara itu, mengatakan seorang advokat wajib menyimpan rahasia jabatan. Bahkan ada ancaman pidana jika rahasia jabatan itu dibuka.

Tarko Sunaryo, mewakili akuntan publik, juga menegaskan akuntan publik wajib mematuhi standar profesi sesuai UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, dan Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP). Dia menegaskan tanggung jawab auditor hanya sebatas opini. Kalau akuntan menemukan pelanggaran dalam pembukuan, akuntan wajib menyampaikan kepada penanggung jawab atau pihak lain. Dalam kaitannya dengan aktivitas klien, Undang-Undang mewajibkan akuntan menjaga kerahasiaan.

Meskipun demikian, Tarko mengakui Ikatan Akuntan Publik Indonesia dilibatkan dalam proses penyusunan PP No. 43 Tahun 2015. Kalangan akuntan tetap meminta agar kewajiban lapor itu tetap diposisikan dalam konstruksi UU Akuntan Publik. Dalam konteks demikian, maka penyimpanan aset milik klien tetap dibenarkan sepanjang tidak secara tegas-tegas dilarang oleh undang-undang.

Perwakilan notaris menegaskan jangan sapai nasib PP ini bagus di konsep tetapi tak bisa dijalankan dengan baik. Notaris adalah pejabat umum yang punya kewenangan berdasarkan Undang-Undang. Kalangan notaris tak terlalu mempersoalkan kewajiban melapor.

Pembelaan para professional itu memang bukan tanpa dasar. Advokat misalnya punya amunisi: advokat tak boleh dipersamakan dengan kliennnya. Klien yang melakukan tindak pidana pencucian tidak lantas bisa dipersepsikan sama dengan pengacaranya.

Pengacara memang tidak identik dengan klien. Tetapi jika pengacara itu memfasilitasi perbuatan pencucian uang, ia tak bisa sepenuhnya lepas dari jerat hukum. Agus Santoso menjamin bahwa langkah wajib lapor itu justru untuk membuat profesi bersih, tak selalu mendapat stigma negatif dari publik. Penyandang profesi itu bisa terjerat tuduhan. Sebaliknya, jika melapor, Pelapor berhak mendapatkan perlindungan, sesuai janji Pasal 83 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kalangan advokat sudah mempersoalkan PP No. 43 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung. Kalangan advokat memprotes antara lain tentang tidak masuknya kurator sebagai profesi yang tak wajib lapor. Alhasil nasib implementasi PP ini masih ditentukan bagaimana kelak putusan Mahkamah Agung.

Pengawasan
Normatifnya, per tanggal 23 Juni 2015, sejumlah profesi dibebani kewajiban melaporkan tindak pidana pencucian uang ke PPATK.  Persoalannya, apakah para profesi gatekeeper tahu atau dianggap tahu tindak pidana pencucian uang yang dilakukan klien mereka; dan bagaimana mengawasi jika advokat dan profesi lain tidak melaporkan dugaan pencucian uang dengan dalih tidak tahu.

Pasal 11 PP No. 43 Tahun 2015 hanya menjelaskan bahwa pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan itu dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK. PPATK berkewajiban membuat regulasi tentang bentuk, jenis, dan tata cara menyampaikan laporan.

Rumusan Pasal 11 tersebut masih menyisakan pertanyaan lain tentang siapa yang disebut Lembaga Pengawas dan Pengatur tersebut dan seberapa kewenangannya. Tentu saja, sesuai dengan sifatnya PP ini tak mungkin mengatur sanksi pidana. Karena itu, pekerjaan rumah PPATK ke depan adalah memastikan kewajiban lapor itu benar-benar bisa dijalankan. Jika tidak, rumusan PP tersebut hanya sekadar jargon untuk ‘menakut-nakuti’ profesi penjaga gawang.
Tags:

Berita Terkait