Sistem Rekrutmen Jabatan Publik Perlu Dievaluasi
Konferensi HTN II:

Sistem Rekrutmen Jabatan Publik Perlu Dievaluasi

Masalah pengisian jabatan publik mengemuka dalam konferensi Hukum Tata Negara II di Padang, Sumatera Barat. Ketua DPD berharap bisa dihasilkan sistem seleksi pejabat publik yang lebih baik.

AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam acara Konferensi HTN II yang diselenggarakan PuSaKo FH Unand, 10 September 2015. Foto: ASH
Prof. Jimly Asshiddiqie dalam acara Konferensi HTN II yang diselenggarakan PuSaKo FH Unand, 10 September 2015. Foto: ASH
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyarankan agar sistem rekrutmen jabatan publik di lembaga dan komisi negara  dievaluasi secara menyeluruh sesuai kebutuhan jabatan tersebut. Ini bukan berarti setiap lembaga harus menerapkan sistem seleksi yang sama. Seleksi calon hakim agung dan calon hakim konstitusi, misalnya, pasti memiliki mekanisme dan sistem yang berbeda.

Usulan itu disampaikan Jimly saat menjadi pembicara kunci dalam acara Konferensi Hukum Tata Negara Kedua yang diselenggarakan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas di Hotel Bumi Minang, Padang, Sumatera Barat, Kamis (11/9) malam.  “Yang terpenting ada standar seleksi, misalnya, ada keterlibatan publik/peran serta masyarakat dalam proses seleksi demi memenuhi asas akuntabilitas dan prosesnya transparan,” ujranya, seperti dilaporkan jurnalis hukumonline langsung dari Padang, Sumatera Barat. 

Salah satunya, Jimly mencontohkan dalam praktik seleksi calon hakim konstitusi sempat mengandung salah tafsir ketika UU MK menentukan pengajuan calon hakim konstitusi “dipilih oleh DPR, MA, Presiden”. Frasa itu tidak mengandung arti calon hakim konstitusi ‘dipilih dari DPR’. Faktanya, sudah beberapa kali calon berasal dari anggota Komisi III DPR. “Ini kesalahan pemilihan hakim MK di periode kedua,” kritiknya.

Apalagi, hingga kini aturan lebih lanjut mengenai mekanisme seleksi di tiga lembaga negara yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Mahkamah Agung (MA), dan Presiden belum ada. “Sampai saat ini belum ada peraturan MA atau Perpres yang mengatur seleksi hakim MK. Satu-satunya adalah Tata Tertib DPR yang terkadang dilaksanakan semaunya, padahal aturan itu amanat UU MK,” ujarnya.

Hal lain yang menjadi sorotan Jimly, keterlibatan DPR dalam proses pemilihan jabatan publik. Setiap undang-undang yang memperkenalkan lembaga atau komisi negara baru selalu dikaitkan dengan kewenangan DPR untuk melakukan pemilihan (fit and proper test). Misalnya, seleksi calon hakim agung, Komisioner KPK, Komisioner KY, Komnas HAM, Komisi Informasi Pusat, Komisi Penyiaran Indonesia, Ombudsman Republik Indonesia, dan Badan Nasional Perlindungan Konsumen.

Jimly menjelaskan model praktik di Amerika yakni hak untuk mengkonfirmasi (right to confirm) atas pengangkatan jabatan publik cenderung berubah menjadi hak untuk memilih (right to select), sehingga cenderung bersifat politik dan teknis. “Ini tentunya bisa mempengaruhi pejabat publik yang dipilih,” kata dia.

Guru Besar Hukum Tata Negara itu menilai keterlibatan DPR dalam rekrutmen pejabat publik sebenarnya hanya varian dari fungsi pengawasan yang ditentukan dalam konstitusi. Hal ini yang menyebabkan DPR tidak fokus melaksanakan tugas pokoknya, legislasi, pengawasan, dan anggaran. Karena itu, keterlibatan DPR dalam rekrutmen jabatan publik juga harus dievaluasi secara menyeluruh, cukup dibatasi hak untuk mengkonfirmasi saja. “Makanya, ‘hak untuk memilih’ sempat dibatalkan MK terkait usulan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial (KY),” kata Jimly mengingatkan.  

Persoalan lain, lanjut Jimly, sejumlah peraturan perundang-undangan tidak konsisten dan tidak membakukan dalam menentukan mana pejabat negara dan mana yang bukan atau mana yang disebut lembaga negara dan mana yang bukan? Sebab, penentuannya belum didasarkan kriteria baku, tetapi bersifat normatif yang sudah ditentukan dalam UU dan Peraturan Pemerintah (PP).

Dia mencontohkan Komnas HAM dan KPU. Dalam Undang-Undangnya disebut sebagai lembaga negara, tetapi komisionernya bukan pejabat negara. Sama halnya, pimpinan dan anggota DPRD hingga saat ini belum diakui sebagai pejabat negara. Berbeda dengan anggota KPAI, anggota Kompolnas, ketua dan wakil ketua KPK, anggota Ombudsman disebut sebagai dalam UU sebagai pejabat negara.        

“Memang penyebutan pejabat negara ini memiliki konsekwensi terhadap administrasi keuangan, yakni mendapatkan hak tunjangan kehormatan sebagai pejabat negara,” Padahal, penyebutan lembaga negara atau lembaga utama dalam konstitusi atau lembaga yang tidak disebut hanya persoalan kesepakatan saja.”  

Sebelumnya, dalam kata pembuka, Ketua DPD Irman Gusman mengungkapkan persoalan rekrutmen pimpinan lembaga atau komisi negara ini sempat dikeluhkan dan kerisauan sejumlah pimpinan lembaga negara dalam sebuah pertemuan pada awal Agustus lalu. “Ada rasa distrust dan ketidakpercayaan antara masyarakat dengan pimpinannya karena sistem seleksi kurang baik,” kata Irman.   

Dia melanjutkan sejumlah peraturan perundang-undangan terkait seleksi jabatan publik mengandung ketidakharmonisan atau ketidaksingkronan, sehingga ditafsirkan sesuai selera dan kepentingan masing-masing. Salah satunya, soal definisi pejabat negara dan lembaga negara yang mesti diluruskan agar menjadi lebih jelas, sehingga akan lebih mudah menata sistem seleksi pejabat publik ke depannya.    

Dia juga mengkritik ketika seleksi calon Komisioner KY dilaksanakan, Panitia Seleksi (Pansel) dipimpin oleh pejabat setingkat direktur jenderal. Padahal, keberadaan KY diatur dalam konstitusi. Karena itu, dia berharap acara konferensi bisa terbangun konsep sistem seleksi pejabat publik yang lebih baik.

“Ini mengurangi ketegangan dan kegaduhan dalam proses seleksi pimpinan lembaga negara, seperti yang terjadi dalam proses pengangkatan Komjen (Pol) Budi Gunawan menjadi Kapolri dan pencalonan kembali Hamdan Zoelva menjadi hakim konstitusi,” katanya.
Tags: