MK Tegaskan Kewenangan Legislasi DPD
Utama

MK Tegaskan Kewenangan Legislasi DPD

DPD berharap segala hal yang diputuskan MK akan ditindaklanjuti oleh Presiden dan DPR.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua DPD, Irman Gusman seusai menghadiri sidang putusan perkara pengujian UU MD3, Selasa (22/9). Foto: Humas MK
Ketua DPD, Irman Gusman seusai menghadiri sidang putusan perkara pengujian UU MD3, Selasa (22/9). Foto: Humas MK


Dari sisi materil, dihapusnya sanksi anggota DPR yang enam kali berturut-turut tidak menghadiri sidang paripurna, tetapi sanksi itu masih tetap berlaku bagi DPD, penghapusan pasal penyidikan anggota MPR, DPD, DPRD, penghapusan BAKN, penghapusan larangan penerimaan gratifikasi (bagi DPR), termasuk pemeriksaan anggota DPR dalam proses penyidikan harus mendapat persetujuan MKD.Namun, aturan-aturan itu tak dikabulkan MK.  

Mahkamah menolak dalil pengujian formil pemohon karena pengujian formil UU No. 17 Tahun 2014 telah dipertimbangkan dalam Putusan No.73/PUU-XII/2014. Putusan itumenolak permohonan pemohon, sehingga pertimbangan itu mutatis mutandisberlaku untuk permohonanini.“Permohonan Pemohon dalam pengujian formil tidak dapat diterima,” ujar Hakim Konstitusi Patrialis Akbar saat membacakan pertimbangan putusan.  

Mahkamah mengutip putusan No.92/PUU-X/2012yang telah memaknai Pasal 146 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009yang muatannya sama dengan Pasal 166 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2014. Namun, pembentuk UU tak memasukkan putusan MK ini dalam UU No. 17 Tahun 2014. Seharusnya RUU beserta penjelasan/keterangan dan/atau naskah akademik dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan Presiden.

Kewenangan materi RUU dalam Pasal 22D ayat (1), (2) UUD 1945 tersebut tidak dimasukkan menjadi kewenangan DPR dalam Pasal 71 huruf c UUNo.17Tahun 2014. Karena itu, menurut Mahkamah Pasal 71 huruf c UUNo.17Tahun 2014 harus dimaknai...”lanjut Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul.

Kemandirian anggaran
Soal Pasal 250 ayat (1) UUNo.17Tahun 2014 sangat berkaitan wewenang DPD dalam Pasal 22D UUD 1945. DPD sebagai lembaga perwakilan daerah memiliki kedudukan setara dengan DPR dan Presiden ketika mengajukan dan membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Agar DPD dapat bekerja maksimal harus didukung dengan ketersediaan anggaran yang cukup. Sebab, kebutuhan anggaran ini juga tidak dapat dilepaskan adanya perbedaan antara DPR dan DPD.

Karena itu, hal yang wajar apabila UU memberikesempatan sama kepada DPR dan DPD secara mandiri untuk menyusun dan mengajukan anggaran masing-masing lembaga sesuai dengan rencana kerjanya masing-masing.Meski memiliki kemandirian menyusun anggaran, namun tetap ditentukan kemampuan keuangan negara sesuai pembahasan oleh Presidan bersama DPR. Sebab, yang memiliki hak anggaran adalah DPR yang dibahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

Putusan ini diwarnai dissenting opinion (pendapat berbeda) yang diajukan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Maria Farida Indrati. Arief berpendapatproses pembentukanUUMD3 yang baru terkait kewenangan DPD,tidak mengindahkan putusanMK No.92/PUU-X/2012. Selain itu, tidak diakomodirnyasyarat keterwakilan hak-hak politik perempuan (affirmative action) seperti dalam UU MD3 sebelumnya, sehingga mengabaikan putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008, putusan MKNo.20/PUU-XI/2013, putusan MK No.73/PUU-XI/2014.

“Menurut saya, UUD MD3yang barusejak kelahirannya mengalami cacat baik secara formil pembentukannya maupun secara materiil materi muatannya.Atas dasar itu, seharusnya pengujian formil dan materiil UU a quo dikabulkan,” kata Arief.

Sedangkan, menurut Maria, selain bertentangan dengan putusan MK, proses pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 bertentangan dengan asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, dan asas keterbukaan.Hal ini berdampak terjadinya kerugian konstitusional anggota dan/atau lembaga-lembaga yang eksistensinya diatur UUD 1945, ketika penentuanalat kelengkapan MPR, DPR, dan DPD.

“Saya berpendapat permohonan tentang pengujian formil terhadap pembentukan UU No. 17Tahun 2014, seharusnya dikabulkan dan UUa quodinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Maria.

Usai persidangan, Ketua DPD Irman Gusman mengatakan putusan MK ini merupakan penegasan putusan MK No.92/PUU-X/2012. Intinya, tugas DPD mengusulkan dan membahas RUU tertentu diajukan kepada DPR dan juga Presiden. “Yang lebih baik lagi, DPD memiliki kemandirian dalam hal anggaran yang dibahas bersama DPR dan Presiden,” ujar Irman kepada sejumlah wartawan di Gedung MK.  

Dia berharap segala hal yang diputuskan MK akan ditindaklanjuti oleh Presiden dan DPR. Tentunya, sejumlah materi putusan MK ini akan menjadi bahan masukan revisi UU MD3 berikutnya. “Yang jelas, kami bersyukur putusan MK No. 92/PUU-X/2012 tetap berlaku dan kemandirian anggaran DPD,” katanya.       
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan RUU bersama DPR dan Presiden. MK mengabulkan sebagian pasal pengujian UU No. 17 Tahun 2014 tentang PerubahanUU No. 27 Tahun 2009tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

Dalam putusan bernomor 79/PUU-XII/2014 yang diajukan DPD ini, MK memberi tafsir inkonstitusional bersyarat Pasal 71 huruf c, Pasal 166 ayat (2), Pasal 250 ayat (1), Pasal 277 ayat (1) UU MD3 ini. Intinya, MK mempertegas keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan sebuah naskah akademik terkait otonomi daerah, pembentukan/pemekaran, pengelolaan sumber daya alam dan kemandirian anggaran DPD.

Pasal 71 huruf c UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai,membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden, DPR, atau DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.”

Sedangkan, Pasal 250 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945sepanjang tidak dimaknai,Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, DPD memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebelumnya, DPD memohon pengujian formil dan materil terhadap 21 pasal yang dinilai memperkuat DPR, tetapi memperlemah posisi DPD. Dari sisi formil, menurut konstitusi, kelembagaan DPR, DPD, dan MPR seharusnya diatur dalam UU tersendiri. Namun, MD3 revisi ini masih menggabungkan ketiganya dalam satu UU. Selain itu, banyak materi dalam UU MD3 masuk dan diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.  
Tags:

Berita Terkait