Konflik di Wilayah Tambang Telah Jadi Penyakit Sosial
Berita

Konflik di Wilayah Tambang Telah Jadi Penyakit Sosial

Pemerintah harus menjadi penyeimbang dan pengatur untuk mengantisipasi gejolak sosial.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi tambang ilegal. Foto: youtube.com
Ilustrasi tambang ilegal. Foto: youtube.com

Kisah pilu kematian Salim Kancil dan penganiayaan Tosan di Lumajang, masih menjadi pembicaraan di ruang publik. Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Dody Prayogo, berpendapat konflik dalam relasi pengusaha tambang dan masyarakat sekitar memang telah menjadi fenomena tersendiri. Dalam bahasa Dody, ia menyebutnya sebagai penyakit sosial atau social symptom.

Dody mengatakan, berdasarkan studi lapangan yang ia lakukan sejak 2003-2010, hampir semua perusahaan tambang dan masyarakat sekitar memiliki relasi konflik. Ia bahkan menemukan banyak konflik yang diwarnai dengan aksi kekerasan. Menurutnya, hal ini terjadi karena adanya perubahan sosial-politik pasca reformasi dan otonomi daerah.

“Masyarakat lokal sekarang memiliki kuasa yang lebih besar. Dalam proses transisi ini resistensi dan konflik menjadi mengemuka yang sebelumnya tidak pernah terjadi,” jelas Dody dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Busar Sosiologi UI di Depok, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut Dody memaparkan, konflik yang terjadi antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang terjadi di seluruh tahap penambangan dengan berbagai sebab. Ia menuturkan, pada tahap eksplorasi, biasanya konflik muncul karena adanya kekhawatiran di antara masyarakat sekitar wilayah tambang mengenai potensi dampak lingkungan dan rencana pembebasan lahan.

Kemudian, persoalan pembebasan lahan semakin menguatkan konflik saat penambangan memasuki tahap pra-konstruksi. Sebab, sering kali proses pemindahan lahan pertanian dan pemindahan pemukiman tidak memndapat persetujuan msyarakat.

Kemudian, pada tahap konstruksi konflik terjadi karena adanya gangguan lingkungan, rekrutmen tenaga kerja yang dinilai tidak berpihak pada masyarakat lokal, dan kompetisi antara penduduk asli dengan pendatang. Selanjutnya, saat operasi tambang mulai berjalan, konflik-konflik pada tahapan sebelumnya yang belum terselesaikan menjadi terakumulasi. Di tambah pula, sering terjadi program corporate social responsibility (CSR) dinilai terbatas dan kurang luas.

“Singkatnya, fenomena konflik antara perusahaan tambang dengan masyarakat lokal menjadi penyakit sosial yang mengindikasikan adanya masalah yang sangat mendasar dalam hubungan antara perusahaan tambang dan masyarakat lokal,” kata Dody.

Tags:

Berita Terkait