Sembilan Isu Strategis RUU Penyiaran
Berita

Sembilan Isu Strategis RUU Penyiaran

KPI perlu diberikan wewenang untuk memberikan izin kepada lembaga penyiaran swasta.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Siaran televisi. Foto: SGP (Ilustrasi)
Siaran televisi. Foto: SGP (Ilustrasi)
Revisi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran salah satu program prioritas legislasi nasional. Saat ini, Pemerintah dan DPR tengah membahas perubahan UU Penyiaran tersebut. Ada beberapa yang perlu diperhatikan pembentuk undang-undang.

Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media Amir Efendi Siregar mengatakan dinamika pembahasan tentang RUU Penyiaran dan RUU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) cukup kompleks. Masing-masing aktor mempunyai kepentingan dan berjalan dalam kebijakan atau  regulasi, bahkan kadang saling bertentangan.

Amir mengemukakan sembilan isu strategis yang layak dipertimbangkan dalam pembahasan RUU Penyiaran dan RUU RTRI. Pertama, terkait regulator penyiaran. Amir menilai selama ini peranan sebagai regulator berada di tangan Pemerintah. Keberadaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) laksana macan ompong. Untuk itu, regulator sebaiknya dikolaborasi antara pemerintah dan KPI.

Kedua, lembaga penyiaran publik dan komunitas. Sejauh ini, lanjutnya, lembaga penyiaran publik dan komunitas mendapatkan perlakuan yang sama dengan lembaga penyiaran swasta. Ketiga, sistem siaran berjaringan dan kepemilikan. Keempat, digitalisasi penyiaran dalam rangka penyelenggaraan penyiaran dan multipleksing.

Kelima, digital dividen. Keenam, barrier to entry atau rintangan masuk. Ketujuh, pembatasan kepemilikan asing. “Jangan sampai asing mengendalikan. Harus ada pembatasan terhadap kepemilikan asing,” kata Amir dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (07/1).

Kedelapan, program televisi dan rating. Program isi TV dan rating harus menjadi perhatian pemerintah dan DPR karena banyaknya keluhan acara TV yang tidak layak. Program isi TV yang tidak bernilai dan rating, lanjut Amir, merupakan akibat dari sistem yang rusak dan terkonsentrasi pada gaya urban. Untuk itu, pentingnya membongkar sistem tersebut dan menggantikan dengan sistem yang lebih sehat.

Kesembilan, hubungan antara RUU Penyiaran dan UU Telekomunikasi. Amir melihat ada pertentangan antara UU Penyiaran dan UU Telekomunikasi. UU Telekomunikasi merupakan induk dari UU Penyiaran. Ia berpendapat UU Telekomunikasi harus segera diubah untuk mencegah campur tangan asing masuk. “UU Telekomunikasi harus diubah agar tidak lenyap di makan asing. Selain itu, UU ITE, UU tentang Film itu juga tidak demokratis. Seharusnya tidak ada lembaga sensor tapi lembaga kualifikasi film,” ujarnya.

Perwakilan dari Sahabat Untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil (SIKA) Bayu Wardhana juga memberikan sejumlah masukan. Isu yang diusung Bayu Wardhana adalah penegakan sistem siaran berjaringan sesuai janji Nawacita tentang kebhinnekaan, pembatasan kepemilikan TV/Radio swasta karena frekuensi adalah sumber daya alam yang terbatas dan abadi, migrasi TV digital yang adil dan transparan, penguatan peran KPI sebagai pemberi izin siaran, regulasi pada rating TV, dan memberi ruang pada TV/Radio Komunitas.

Untuk RUU RTRI, terdapat lima hal utama yang patut diperhatikan yakni udit lembaga pada TVRI dan RRI, independensi lembaga penyiaran publik yang menciptakan ruang dialog warga, dewan pengawas/penyiaran yang mewakili berbagai golongan, dan profesionalisme SDM RTRI lewat UU ASN.

“Tahun ini menjadi tahun penting bagi dunia penyiaran karena RUU RTRI yang rencananya akan dibahas pertengahan tahun ini, habisnya izin siar sepuluh lembaga penyiaran swasta dan masa kepengeurusan KPI juga habis,” kata Bayu mengingatkan.

Melihat kondisi tersebut, Amir menambahkan saat ini menjadi moment penting bagi regulator untuk melakukan revisi UU Penyoiaran, dan evaluasi sinergi isi content. Peran masyarakat dinilai penting terutama untuk memberikan masukan dan pertimbangan apakah sepuluh lembaga penyiaran swasta yang akan habis izinnya masih layak untuk diperpanjang atau tidak.

“Masyarakat harus diajak ikut serta menentukan apakah lembaga penyiaran swaswa tersebut layak diperpanjang izinnya atau tidak. Masyarakat memberikan masukan dan regulator harus menggunakan masukan tersebut sebagai pertimbangan untuk memperpanjang izin,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait