Pengusaha Kembali Tegaskan Penolakan RUU Tapera
Berita

Pengusaha Kembali Tegaskan Penolakan RUU Tapera

Desain Komite Tapera dianggap merugikan pemilik dana.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pengusaha Kembali Tegaskan Penolakan RUU Tapera
Hukumonline
Para pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) satu suara menyatakan penolakan organisatoris terhadap RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Para pengusaha menduga RUU ini segera disahkan Pemerintah dan DPR.

Bukan hanya penolakan yang disuarakan, tetapi juga ancaman pemboikotan atas proses pembentukan peraturan perundang-undangan teknis setelahnya. Ketua Umum Kadin, Rosan Perkasa Roeslan, menegaskan penolakan Kadin dan Apindo karena program tabungan perumahan rakyat pada dasarnya tumpang tindih dengan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS punya program penyediaan perumahan bagi peserta. Sekitar 30 persen dana Jaminan Hari Tua (JHT) dipakai untuk mendukung program perumahan itu.

Rosan menilai Pemerintah tidak perlu lagi membuat program serupa untuk perumahan, khususnya terhadap pekerja sektor formal. Jika RUU Tapera disahkan dan diimplementasikan, pemberi kerja dan pekerja akan dikenakan iuran wajib setiap bulan. Pengusaha dibebani iuran sebesar 0,5 persen dan pekerja 2,5 persen.

Rosan mengingatkan, kebijakan tumpang tindih justru membuat dunia usaha tidak efektif dan efisien. Padahal, kebijakan yang diterbitkan Pemerintah belakangan ini ditujukan agar iklim berbisnis lebih baik. Alih-alih mewujudkan hal itu, iuran yang ada dalam RUU Tapera diyakini akan semakin memberatkan dunia usaha. “Semakin banyak pungutan yang dibebankan kepada dunia usaha maka kita tidak bisa kompetitif,” katanya dalam jumpa pers di kantor Kadin Indonesia di Jakarta, Selasa (2/2).

Rosan menghitung pengusaha di Indonesia sudah dibebani iuran sebesar 11,75 persen untuk program yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Pengusaha juga harus mencadangkan pesangon untuk pekerjanya sebesar 8 persen, ditambah kenaikan upah minimum yang setiap tahun mencapai 11,5 persen.

Daripada menambah beban sebesar 3 persen untuk tapera, kata Rosan, lebih baik pemerintah memaksimalkan program perumahan yang ada, diantaranya yang digulirkan BPJS Ketenagakerjaan. Dana JHT yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan saat ini mencapai Rp180 triliun. Jika 30 persen digunakan untuk perumahan maka dana yang bisa digulirkan untuk penyediaan perumahan bagi pekerja sebesar Rp54 triliun.

Sekalipun pemerintah bersikukuh mengesahkan RUU Tapera Rosan menekankan Kadin Indonesia tidak mau bergulat lagi dalam pembahasan peraturan turunannya. Oleh karenanya sejak awal sikap Kadin menolak RUU Tapera.

Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, menyesalkan sikap pembentuk undang-undang yang ingin mengatur iuran dalam peraturan turunan. Menurutnya, sudah tidak ada ruang negosiasi yang ditawarkan pemerintah ketika UU Tapera diterbitkan. Jika UU Tapera dipaksakan untuk diterbitkan, pengusaha tetap menolak dan melakukan boikot. “Kami tetap menolak dan melakukan boikot jika UU Tapera dipaksakan untuk disahkan,” tegasnya.

Hariyadi melihat RUU Tapera akan menyasar pekerja sektor formal dan informal. Padahal isu yang sempat dilontarkan pemerintah terkait tapera yakni untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Jika itu yang disasar maka pekerja formal tidak perlu dibebani dengan iuran sebagaimana isi RUU Tapera. Menurutnya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan perumahan bagi MBR sehingga tidak perlu lagi menarik iuran dari pengusaha dan pekerja.

Di tempat berbeda, Sekretaris Umum Housing and Urban Development (HUD) Institute, Muhammad Joni, mengatakan masih ada kekacauan dalam desain struktur hukum penyelenggaraan tapera dalam RUU Tapera. Desain Komite Tapera yang tidak melibatkan unsur masyarakat, misalnya, merugikan pemilik dana sehingga menimbulkan kerugian hak konstitusional.

Menurut Joni, dana tapera juga rawan disalahgunakan jika tanpa pengawasan. Dana tapera yang ditarik dari masyarakat seharusnya masuk kategori publik, dan konsekuensinya pengelolaannya harus transparan.

Terpisah, Presiden KSPI, Said Iqbal, mendukung pemerintah dan DPR untuk mengesahkan RUU Tapera. Menurutnya, program itu membantu buruh untuk mendapat perumahan karena selama ini buruh kesulitan memiliki rumah karena upah yang diterima tergolong minim. Selain itu Iqbal mengusulkan agar besaran iuran 5 persen, ditanggung pengusaha 3 persen, buruh 1 persen dan pemerintah 1 persen. “Kami mendukung RUU Tapera karena selama ini buruh kesulitan memiliki rumah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait