Mediasi Perkara Pidana Anak, Begini Filosofinya
Berita

Mediasi Perkara Pidana Anak, Begini Filosofinya

Penyelesaian perkara pidana anak lebih mengutamakan pendekatan yang tidak merugikan perkembangan jiwa si anak.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ternyata tak hanya dikenal dalam perkara perdata, seperti wanprestasi, Perbuatan Melawan Hukum (PMH), warisan, perceraian, penguasaan dan nafkah anak, atau harta bersama. Perkara pidana pun mengenal proses mediasi, lazim disebut mediasi penal. Mediasi penal dianut UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Anggota Tim Pokja Mediasi MA Diah Sulastri Dewi mengatakan dalam perkembangannya pengadilan negeri tidak hanya memediasi perkara-perkara perdata, tetapi juga memediasi perkara pidana anak terutama sejak terbitnya UU SPPA. Sebab, UU SPPA mengamanatkan setiap anak yang berhadapan dengan hukum wajib mengutamakan prinsip restorative justice (pemulihan keadilan).

“Mediasi penal memang tidak letterlijk diatur UU SPPA, tetapi filosofinya mengandung mediasi penal yang dikenal di beberapa negara yang terikat (ratifikasi) konvensi hak-hak anak, seperti Filipina, Thailand, Hongkong, Australia, Jepang,” ujar Diah Sulastri Dewi saat acara konperensi Asia Pacific Mediation Forum ke-7 di Hotel Santosa Villa & Resort, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (11/2).

Dia mengutip Pasal 7-8 UU SPPA yang menyebut setiap tingkatan peradilan wajib dilakukan proses diversi terhadap perkara anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagi pelaku maupun korban. Artinya, ada proses pengalihan pemidanaan anak dari sistem formal ke sistem informal dengan jalan musyawarah dengan melihat kondisi anak.

Wakil Ketua PN Bale Bandung ini mencontohkan kasus anak yang berusia 16 tahun tanpa SIM mengemudikan mobil truk, lalu menabrak dua penyeberang jalan. Satu tewas, satu lagi cacat. Anak ini sebenarnya bukan pelaku murni, tetapi korban putus sekolah, padahal anaknya pintar.

“Saat musyawarah di ruang pengadilan terungkap anak ini terdorong ingin belajar mengemudi untuk mencari uang, sehingga tidak patut dipidana. Anak seperti ini harus dilindungi,” katanya.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan setiap anak yang berhadapan/terlibat dengan hukum memang mesti dilindungi karena seorang anak  belum dianggap dewasa. “Ketika anak terkena kasus hukum mesti dipahami yang harus dibedakan dengan perlakuan orang dewasa. Sebab, tindakan pidana yang dilakukan anak banyak faktor yang mempengaruhi,” kata Topo di tempat yang sama.

Dengan begitu, lanjutnya, penyelesaian perkara pidana anak lebih mengutamakan pendekatan yang tidak merugikan perkembangan jiwa si anak. Di banyak negara, anak yang terlibat dengan hukum bukan dianggap sebagai penjahat, sehingga penyelesaiannya seringkali di luar sidang dengan diversi.

“Kalau harus disidangkan, sanksi yang dijatuhkan bukan hukuman pidana, tetapi berupa tindakan tertentu. Kalaupun harus dipidana, hukumannya harus dikurangi. Jadi, ada treatment bagi anak yang dibedakan dengan orang dewasa,” jelasnya.

Menurutnya, bentuk mediasi dalam perkara pidana anak bisa bermacam-macam. Misalnya, musyawarah antara keluarga pelaku dan keluarga korban yang difasilitasi hakim atau mediator. “Di beberapa negara, penyelesaian dengan musyawarah orang tua anak yang melakukan pidana dengan orang tua korban,” tambahnya.
Tags:

Berita Terkait