Luhut: Yang Perlu Direvisi dari Perma Mediasi, Perbaikan Kapasitas Mediator
Berita

Luhut: Yang Perlu Direvisi dari Perma Mediasi, Perbaikan Kapasitas Mediator

Selama ini, yang membuat mediasi tidak berjalan dengan baik atau hanya menjadi formalitas adalah kurang maksimalnya peran mediator.

HAG
Bacaan 2 Menit
Advokat Luhut Pangaribuan. Foto: RES
Advokat Luhut Pangaribuan. Foto: RES
Terbitnya Perma No.1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memang belum diketahui banyak kalangan advokat. Akan tetapi, beragam kritik datang dari kalangan advokat terkait proses dalam mediasi itu sendiri. Advokat Luhut Pangaribuan berpendapat, sebaiknya yang menjadi bahan revisi dalam Perma Mediasi adalah perbaikan pengaturan soal mediator.    

Menurut Luhut, selama ini yang membuat mediasi tidak berjalan dengan baik atau hanya menjadi formalitas adalah kurang maksimalnya peran mediator. Dia mengatakan, selama ini mediator yang bertugas bukan mediator yang benar-benar ahli dan memiliki kemampuan untuk mendamaikan para pihak.

“Jadi menurut hemat saya karena memang mediatornya bukan yang benar-benar berjiwa atau ahli di bidang mediasi. Saya punya satu pengalaman walaupun berhasil bukan karena mediatornya tetapi malah dari kuasa hukumnya. Kalau Perma mau direvisi khususnya tentang kapasitas mediator memang menurut saya perlu,” jelas Luhut.

Luhut memberikan contoh kasus saat dirinya menangani salah satu perkara, kemudian mediasinya berhasil. Namun, menurutnya hal tersebut bukan karena peran dari mediator melainkan merupakan keberhasilan dari kuasa hukum. Pasalnya, kuasa hukum para pihak memiliki motivasi untuk mendamaikan para pihak.

“Ada satu kasus mediasinya berhasil tapi lebih karena peran kuasa hukum bukan peran mediator karena memang motivasinya untuk mendamaikan,” ujar Luhut.

Contoh kasus lain mengenai pencemaran nama baik. “Itu mediatornya mengatur duduknya para pihak berhadap-hadapan. Nah, jadi dia tak atur dengan baik, padahal posisi itu sangat penting, apalagi tentang pencemaran nama baik. Itu dibuat berhadap-hadapan duduknya para pihak. Maka malah semakin panas karena bisa saling melihat gerak gerik dari lawannya,” paparnya.

Luhut mengatakan, yang menjadi tujuan utama dari mediasi adalah menurunkan tensi dari para pihak sehingga memiliki keinginanuntuk melakukan perdamaian. “Padahal tujuan dari mediasi itu kan diturunkan tensinya dahulu kemudian dicari mana persamaan dan perbedaan dilokalisir dan kemudian dicari titik temu. Dan itu terlihat sangat performa,” ujarnya.

Oleh sebab itu, sambung Luhut, peningkatan kualitas mediator sangat perlu diperbaiki apabila mediasi ingin menjadi salah satu alternatif penyelesaian sengketa. Salah satu cara adalah dengan diberikannya reward kepada mediator, misalnya dari hakim apabila berhasil mendamaikan perkara.

“Kualitas mediator bukan hanya sekadar pendidikan formal tetapi juga kapasitas dan motivasi. Mestinya dia ada reward, seperti kenaikan pangkat yang luar biasa. Bisa seperti itu rewardnya. Jadi kalau dia bisa berhasil mendamaikan 5 perkara maka dia bisa mendapat promosi atau kenaikan tingkat,” ucap Luhut.

Sedangkan mengenai pengurangan jangka waktu mediasi dari yang sbeelumnya 40 hari menjadi 30 hari, menurut Luhut, hal itu bukan menjadi menjadi isu yang utama dari revisi Perma Mediasi. Karena apabila para pihak sudah setuju untuk melakukan perdamaian, dalam jangka waktu 10 hari maka mediasi akan selesai.

“Hari menurut saya bukan merupakan isu yang utama. Kalau sudah ada titik temu, ya 10 hari juga sudah selesai kok,” tegasnya.

Kemudian, dengan adanya ketentuan iktikad baik, menurut Luhut, sebaiknya jangan terjadi prejudice. Apabila para pihak tidak datang maka pihak tersebut memiliki iktikad buruk. Sehingga, diperlukan kekuatan undang-undang karena mediasi bersifat volunteerly (sukarela). Jadi, kata Luhut, jangan sampai dengan adanya ketentuan iktikad baik malah menggugurkan hak orang untuk mengajukan gugatan.

“Saya tidak tahu, tapi menurut saya harus ada kekuatan undang-undang kan mediasi sifatnya volunteerly. Memang harus masuk ke mediasi tapi kan sifat dari hasilnya apapun tak boleh menegasikan hak orang untuk menggugat. Jadi kalau ada orang berkeyakinan kuat bahwa dia  benar dan tidak ingin berdamai maka itu harus dihargai. Jangan serta merta menganggap dia keras kepala atau beriktikad buruk, itu belum tentu,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait