YLKI Kritik Kenaikan Iuran BPJS
Berita

YLKI Kritik Kenaikan Iuran BPJS

Kenaikan iuran seharusnya sebanding dengan kualitas pelayanan.

ADY
Bacaan 2 Menit
YLKI. Foto: RES
YLKI. Foto: RES
Pemerintah menaikan besaran iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan. Kenaikan iuran itu menyasar peserta bukan penerima upah (PBPU) atau mandiri dan penerima bantuan iuran (PBI). Ketua Badan Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan penetapan kenaikan iuran itu dilakukan pemerintah lewat Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Ada poin-poin perubahan dalam Perpres Jaminan Kesehatan itu di antaranya kenaikan iuran peserta PBPU untuk ruang perawatan kelas III Rp30.000 (sebelumnya Rp25.000), kelas II Rp51.000 (sebelumnya Rp42.500) dan kelas I Rp80.000 (sebelumnya 59.500). Mengacu Perpres No. 19 Tahun 2016 kenaikan iuran berlaku per 1 April 2016.

“Kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS untuk peserta mandiri adalah kebijakan yang kontra produktif dan tidak mempunyai empati, di saat sedang lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat,” kata Tulus dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Senin (14/3).

Menurut Tulus sampai saat ini BPJS Kesehatan belum punya standar pelayanan minimal yang jelas. Akibatnya, semua lini pelayanan BPJS Kesehatan masih mengecewakan masyarakat. Masih ada peserta BPJS Kesehatan yang ditolak rumah sakit (RS) tanpa alasan jelas. Sekalipun diterima RS tapi pelayanannya berbeda jika dibandingkan pasien umum. Ditambah lagi ada obat-obatan tertentu yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan dan antrian panjang yang membuat peserta terhambat mendapatkan pelayanan medis.

Kenaikan iuran, kata Tulus, melanggar prinsip gotong royong BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan seolah tidak berbeda dengan asuransi komersial. Yang harus dilakukan adalah menaikkan iuran PBI dari Pemerintah. “Seharusnya pemerintah justru berterima kasih pada peserta mandiri BPJS Kesehatan, bukan malah mengeskploitasinya dengan menaikkan tarif. Pemerintah bisa menggunakan separuh dari dana cukai rokok yang diperolehnya,” usul Tulus.

Buruknya pelayanan BPJS Kesehatan menurut Tulus menyebabkan masyarakat masih perlu mengeluarkan dana untuk memperoleh pelayanan kesehatan dengan skema fee for service. Menurutnya itu tidak terjadi jika pelayanan yang diberikan sudah berjalan baik.

Tulus tidak yakin kenaikan iuran bisa mencegah defisit finansial yang dialami BPJS Kesehatan. Masalah itu perlu diatasi dengan perbaikan fundamental dari sisi hulu di antaranya memperbaiki perilaku hidup sehat masyarakat (tindakan preventif dan promotif). Selain itu mengembalikan ketidakpercayaan (distrust) masyarakat pada pelayanan kesehatan tingkat dasar. “YLKI mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan,” tukas Tulus.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat kenaikan iuran bagi PBPU itu tidak adil jika dibandingkan dengan besaran iuran PBI dan pekerja penerima upah (PPU). Sebab peserta PBPU/mandiri yang mengambil ruang perawatan kelas II dengan jumlah anak 3 maka besaran iuran yang dibayar untuk sekeluarga (5 orang) setiap bulan sebesar Rp255.000. Sedangkan PPU dengan upah 2 juta dan mendapat ruang perawatan kelas II untuk sekeluarga (5 orang) hanya membayar Rp100 ribu. “Ini tidak adil karena peserta PBPU/mandiri membayar 2,5 kali lipat dibanding peserta PPU,” urainya di Jakarta, Selasa (15/3).

Timboel mengusulkan agar besaran iuran untuk peserta mandiri/PBPU dibuat per paket yang terdiri dari 5 orang untuk satu ruang perawatan. Misalnya, untuk ruang perawatan kelas II untuk 5 orang maka paket iurannya Rp150 ribu. Ketidakadilan terhadap peserta mandiri/PBPU juga terlihat jika dibandingkan dengan PBI. Untuk mendapat ruang perawatan kelas III peserta PBPU/mandiri harus membayar Rp30 ribu per orang setiap bulan sementara PBI hanya Rp23 ribu. “Harusnya iuran PBI itu Rp30 ribu per orang per bulan,” tukasnya.

Selain itu Timboel mengkritik batas atas iuran yang diatur Perpres No. 19 Tahun 2016 hanya naik menjadi Rp8 juta. Padahal untuk mendukung prinsip gotong royong dalam program JKN harusnya batas atas itu dinaikkan menjadi tiga kali PTKP atau Rp12 juta. “Sebaiknya patokan yang digunakan tetap PTKP dan bukan angka nominal. Bula PTKP naik maka batas atas iuran otomatis naik sehingga bisa mendukung peningkatan iuran,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait