Buruh Juga Butuh Pensiun Layak
Berita

Buruh Juga Butuh Pensiun Layak

Besaran iuran Jaminan Pensiun harus mampu memberi manfaat agar buruh yang pensiun bisa hidup layak.

ADY
Bacaan 2 Menit
Iklan layanan masyarakat BPJS Ketenagakerjaan. Foto: BJPS
Iklan layanan masyarakat BPJS Ketenagakerjaan. Foto: BJPS
Guru Besar FKM UI, Hasbullah Thabrany, mengatakan agar manfaat program Jaminan Pensiun (JP) yang akan diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan sejak 1 Juli 2015 harus mampu membuat buruh yang pensiun hidup layak. Besaran iuran jadi salah satu faktor yang mempengaruhi manfaat yang diperoleh peserta. Minimal, ketika pensiun pekerja bisa memenuhi kebutuhan hidup secara layak baik pangan, sandang dan papan. Menurutnya itu wajib diberikan negara untuk pekerja bukan saja yang bekerja untuk penyelenggara negara tapi juga swasta.

"UU SJSN mengharuskan pekerja (swasta) tidak dinistakan dengan penyediaan jaminan pensiun manfaat pasti. Itu artinya uang pensiun bulanan (sebagai manfaat yang diterima peserta) harus mencukupi kebutuhan makan, pakaian dan tinggal di rumah yang layak," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (04/6).

Hasbullah menyebut manfaat pensiun yang diterima pekerja di negara-negara yang berbudaya biasanya 40-75 persen dari upah terakhir. Seperti Korea Selatan (Korsel), mewajibkan semua pekerja mengiur 9 persen dari upah (tanpa batas upah/ceiling) dengan rincian pekerja dan pemberi kerja masing-masing menanggung 4,5 persen. Sehingga pekerja di Korsel ketika pensiun memperoleh manfaat paling sedikit 50 persen dari upah tiga tahun terakhir.

Hasbullah juga menilai usulan besaran iuran sekitar 2 persen kurang  beralasan. Sebab dengan besaran iuran tersebut ia yakin pekerja tidak akan bisa hidup layak ketika pensiun. Pengusaha berargumen iuran JP memberatkan pengusaha karena selama ini pengusaha juga menanggung program Jaminan Hari Tua (JHT) untuk pekerja dan menurunkan daya saing usaha. Ia membandingkan, Korsel dengan iuran JP 9 persen, atau Malaysia 23 persen dan Singapura 30 persen, justru mampu bersaing secara internasional.

Untuk itu Hasbullah mengusulkan di tahap awal agar iuran JP minimal 5 persen, pekerja dan pemberi kerja masing-masing menanggung 2,5 persen. Besaran itu harus dievaluasi minimal tiga tahun sekali. Selain itu ia berharap agar program JP tidak menerapkan batas upah untuk menghitung besaran iuran peserta. Jika itu dilakukan maka BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa mengumpulkan dana JP yang besar dari peserta.

Padahal, dikatakan Hasbullah, dana Pensiun yang terkumpul itu bisa digunakan pemerintah lewat investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan untuk membangun infrastruktur dan lapangan kerja baru.

Terpisah, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Chazali Husni Situmorang, mengatakan dalam program JP harus melihat asas manfaat, kemanusiaan dan keadilan sosial. Program ini harus ditujukan untuk mempertahankan pekerja agar mendapat kehidupan layak. "Tujuan JP itu mempertahankan kehidupan yang layak saat pekerja kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun," ujarnya.

Soal iuran, Chazali menyebut DJSN menghitung besaran iuran JP tahap awal paling sedikit 8,33 persen (dibulatkan jadi 8 persen). Terdiri dari 3 persen ditanggung pekerja dan 5 persen pemberi kerja. Setiap periode tertentu besaran iuran itu harus dievaluasi.

Chazali menilai saat ini ada tiga kelompok yang menilai program JP dengan sudut pandangnya masing-masing. Pertama, ada yang menyebut iuran JP cukup 1,5 persen karena program JP bersifat sosial. Kedua, ada lembaga pemerintahan yang mengusulkan iuran JP 3 persen. Ketiga, DJSN sejak tiga tahun lalu sampai sekarang menghitung paling sedikit iuran JP 8 persen. "Sekarang eksekusinya ada di tangan Presiden," tukasnya.

Tak ketinggalan Chazali menjelaskan UU SJSN mengamanatkan program JP menerapkan manfaat pasti. Oleh karenanya ada batas atas dan bawah upah. Untuk batas atas dihitung 11 kali PTKP atau sekitar Rp10-11 juta dan terendah 1 PTKP.

Anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, secara pribadi mengusulkan iuran JP 15 persen atau minimal 8 persen di tahap awal. "Kalau iuran 8 persen, buruh hanya menerima manfaat sekitar 30 persen dari upah terakhir," paparnya.

Rieke menekankan agar pemerintah segera menerbitkan peraturan pelaksana agar empat program jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Ketenagakerjaan salah satunya JP bisa beroperasi 1 Juli 2015. Program JP menurutnya penting untuk rakyat Indonesia, terutama pekerja dalam menghadapi berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015. "Segera terbitkan peraturan pelaksana. Kalau tidak diterbitkan kapan mau sosialisasi?," pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait