Apindo Tolak Kenaikan Batas Atas Iuran BPJS
Berita

Apindo Tolak Kenaikan Batas Atas Iuran BPJS

Dinilai semakin memberatkan dunia usaha. Pelayanan kesehatan yang diterima peserta belum memadai.

ADY
Bacaan 2 Menit
Apindo Tolak Kenaikan Batas Atas Iuran BPJS
Hukumonline

Pemerintah telah menerbitkan PP No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua PP Jaminan Kesehatan. Ada sejumlah ketentuan baru dalam regulasi itu antara lain penaikan batas atas upah per bulan yang digunakan sebagai dasar penghitungan besaran iuran peserta penerima upah (PPU) non PNS dari 2 kali PTKP menjadi Rp8 juta. Penolakan terhadap kenaikan iuran itu sudah terdengar.

Ketua Umum DPN Apindo, Hariyadi B Sukamdani, menilai kenaikan batas atas iuran itu memberatkan pengusaha selaku pemberi kerja karena  otomatis menaikkan besaran nominal yang harus ditanggung oleh pemberi kerja sekitar 6-7 persen.

Hariyadi menjelaskan dalam ketentuan sebelumnya yakni PP No. 12 Tahun 2013 dan PP No. 111 Tahun 2013 batas atas hanya 2 kali PTKP yakni sekitar Rp4.725.000. Pengusaha selaku pemberi kerja menanggung 4 persen dan pekerja/buruh sebagai peserta 1 persen.

Apindo mengusulkan kepada pemerintah agar mengevaluasi pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar sejak 1 Januari 2014. Hariyadi menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu dicermati sebelum kenaikan besaran iuran itu dilakukan seperti pelayanan di RS belum memadai sehingga banyak peserta yang ditolak dengan alasan kamar penuh. Akibatnya, perusahaan menanggung beban tambahan karena peserta tidak dapat mendapat manfaat JKN sebagaimana diharapkan.

Kemudian, koordinasi manfaat (coordination of benefit/COB) belum berjalan efektif. Itu menyebabkan perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk membeli asuransi swasta untuk pekerja/buruh. Kinerja BPJS Kesehatan dirasa belum efektif mengelola peserta mandiri atau bukan penerima upah (PBPU) sehingga rasio klaim sangat tinggi. Apindo mencatat rasio klaim PBPU di atas 300 persen, PBI 80 persen, PPU PNS 100 persen dan PPU non PNS (swasta) hanya 70 persen. Atas dasar itu Apindo menuntut pelaksanaan Perpres No. 19 Tahun 2016 ditunda.

“Kami sudah layangkan surat ke Presiden Joko Widodo, DJSN dan BPJS Kesehatan. Sebelum menaikkan iuran harusnya instropeksi dulu pelaksanaan JKN yang ada selama ini,” kata Hariyadi dalam jumpa pers di kantor DPN Apindo di Jakarta, Kamis (24/3).

Ketua DPN Apindo bidang Ketenagakerjaan, Harijanto, mengatakan dengan kenaikan batas atas iuran maka presentase yang diiur oleh pemberi kerja dan pekerja akan meningkat, terutama yang upahnya sebulan di atas Rp4.725.000. Ia menghitung jika upah si pekerja Rp7 juta maka dengan kenaikan itu pemberi kerja menanggung Rp140 ribu per bulan per orang.

Apindo mengusulkan agar batas atas itu mengacu pada regulasi sebelumnya yakni maksimal 2 kali PTKP. Jika merujuk batas atas yang diatur PP No. 19 Tahun 2016 maka pemberi kerja akan semakin terbebani karena iuran yang ditanggung naik. Ia menjelaskan jabatan pekerja yang mendapat upah Rp 8 juta sebulan biasanya supervisor. Di perusahaan padat karya yang mempekerjakan 10 ribu orang pekerja maka jumlah pekerja/buruh yang menjabat sebagai supervisor rata-rata seribu orang.

Terpisah, Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi, mengatakan Perpres No.19 Tahun 2016 itu diterbitkan untuk menjaga keberlanjutan program JKN. Sekaligus meningkatkan mutu layanan. Tercatat tahun 2014-2015 BPJS Kesehatan mengalami miss match Rp5 triliun. “PP itu mengatur penyesuaian tarif bukan saja PBPU tapi juga peserta penerima bantuan iuran (PBI),” ujarnya di gedung DPR/MPR.

Anggota DJSN dari unsur pekerja/buruh, Subiyanto, mengatakan DJSN secara resmi belum membahas PP No. 19 Tahun 2016. Rencananya pembahasan itu akan digelar pekan depan. “Dalam waktu dekat DJSN akan segera mengevaluasi PP No. 19 Tahun 2016 ini,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait