DPR Gagas Perpanjangan Masa Jabatan Hakim Agung Per Lima Tahun
Berita

DPR Gagas Perpanjangan Masa Jabatan Hakim Agung Per Lima Tahun

Hasil penilaian kinerja per lima tahunan menjadi penentu perpanjangan masa jabatan hakim agung, atau sebaliknya.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III Arsul Sani. Foto: RES
Anggota Komisi III Arsul Sani. Foto: RES
Rentang waktu masa jabatan pejabat negara sejatinya dapat diperpanjang setelah evaluasi kinerja menghasilkan nilai positif. Berbeda halnya dengan hakim agung di Mahkamah Agung, mereka menjabat ‘Wakil Tuhan’ hingga masa pensiun. Muncul gagasan, agar hakim agung dievaluasi kinerja mulai etika hingga putusan perkara yang ditanganinya.

Anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja hakim agung mesti dilakukan ketat. Putusan hakim agung di tingkat kasasi maupun peninjauan kembali (PK) menyangkut nasib para pencari keadilan di tingkat akhir dalam sistem hukum. Sebagai pejabat negara, kinerja hakim agung idealnya mesti dievaluasi dalam rentang waktu tertentu.

“Kalau soal evaluasi, maka hakim agung seperti pejabat negara lainya dievaluasi," ujarnya di Gedung DPR, Selasa (29/3).

Isu pengawasan, evaluasi perilaku hakim, kinerja dan kemampuan seorang hakim agung menjadi sorotan di internal Komisi III. Arsul berpandangan, hakim agung sebagai pejabat negara mesti dievaluasi. Pihak yang melakukan evaluasi, menurut Arsul adalah Komisi Yudisial (KY). Sebagai lembaga pengawas eksternal hakim, sejatinya KY memang tak saja melakukan pengawasan. Namun juga melakukan evaluasi kinerja hakim agung untuk kemudian hasilnya diberikan ke DPR.

“Ini dievaluasi 5 tahunan oleh KY, tetapi diserahkan ke DPR,” ujarnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan, setelah dievaluasi oleh KY, hasilnya diserahkan ke DPR sebagai pertimbangan untuk kemudian bisa tidaknya dilakukan perpanjangan masa jabatan terhadap hakim agung bersangkutan untuk 5 tahun ke depan.

Mekanisme tersebut dinilai bakal efektif. Setidaknya memacu masing-masing hakim agung agar lebih meningkatkan kinerja dan memenuhi instrumen penilaian lainnya bila menginginkan masa jabatannya diperpanjang. “Tetapi kalai evaluasinya diakukanoleh Mahkamah Agung, sama saja jeruk makan jeruk,” ujarnya.

Hakim Agung Prof Gayus Lumbun sependapat dengan Arsul agar hakim agung dilakukan pengawasan dan evaluasi. Apalagi, saat masih duduk sebagai anggota Komisi III DPR periode 2004-2009, Gayus sudah lantang menyuarakan agar dilakukan penguatan kewenangan terhadap KY. Ia berpandangan KY mestinya melakukan pengawasan dan evaluasi dengan masuk ke ranah putusan yang dibuat oleh hakim agung.

Sebab terhadap putusan yang sudah resmi diketuk palu oleh hakim agung maka resmi pula putusan tersebut menjadi milik publik. Menurut Gayus, pengawasan dan evaluasi yang mesti dilakukan KY mesti diperkuat. Terlebih, KY dibentuk berdasarkan konstitusi. Oleh sebab itu pengawasan yang dilakukan KY mesti diperkuat.

“Jadi peran KY sangat tinggi. Hakim itu bukan sosok yang duduk di Menara gading, hakim itu terisolir. Sebaliknya, hakim harus diperbolehkan mengabdi dalam bentuk memberikan infirmasi ke publik, hakim harus bertanggungjawab ke publik,” ujarnya.

Terpisah, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeiP) Della Sri Wahyuni berpandangan perlu dipikirkan rumusan dan mekanisme penilaian kinerja hakim agung. Della mengaku sepakat bila dilakukan evaluasi dan penilaian kinerja terhadap hakim agung. Pasalnya sebagai pejabat negara, hakim agung tak memiliki term of office seperti halnya pejabat negara lainnya.

“Poin kalau ada penilaian kinerja bagi hakim agung, saya sepakat,” ujarnya.

Ia berpendapat meski sudah ada penilaian kinerja terhadap hakim agung, namun instrumennya tak jelas. Padahal masa jabatannya terbilang panjang, hingga masa pensiun. Sementara pejabat negara lainnya memiliki instrumen penilaian yang jelas. Misalnya, terhadap pejabat negara yang tidak memiliki kinerja baik dapat tidak dipilih kembali di periode berikutnya.

Dikatakan Della, evaluasi dan penilaian kinerja terhadap hakim agung harus dilakukan secara konsisten. Namun bila dilakukan per lima tahun dengan didasarkan pada ujian dan kemampuan semata, tidaklah representatif. Ia lebih sependapat bila hasil penilaian terhadap kinerja menjadi bahan uji kelayakan untuk menentukan dapat tidaknya hakim agung diperpanjang masa jabatannya. “Penilaian ini yanjadi bahan uji kelayakan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait