Rencana Moratorium Lahan Kelapa Sawit dan Tambang Tuai Polemik
Berita

Rencana Moratorium Lahan Kelapa Sawit dan Tambang Tuai Polemik

Para stakeholder baik lingkungan, industri sawit, masyarakat dan pemerintah perlu duduk bersama untuk mendiskusikan ulang rencana moratorium tersebut.

Oleh:
YOZ/ANT
Bacaan 2 Menit
Foto: kotapinang.wordpress.com
Foto: kotapinang.wordpress.com
Rencana pemerintah yang akan melakukan moratorium terhadap lahan kelapa Sawit dan pertambangan dinilai Labor Institute Indonesia sebagai langkah yang kurang tepat. Hal ini dikarenakan moratorium justru akan menciptakan pengagguran baru di Indonesia.

Analis Politik & HAM Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga, mengatakan industri sawit mulai dari hilir sampai hulu berupa pembuatan minyak kelapa sawit (CPO) justru menyerap lapangan kerja yang cukup besar. Industri perkebunan kelapa sawit juga dapat mondorong pergerakan ekonomi daerah.

“Moratorium tersebut sangat bertentangan dengan program nawacita Presiden Jokowi,” katanya dalam siaran pers yang diterima hukumonline Senin (18/4).

Andy berpendapat, penyerapan tenaga kerja ini sejalan dengan perluasan lahan yang tertanami sawit. Menurut catatan Labor Institute Indonesia, saat ini luas perkebunan kelapa sawit mencapai lebih dari 10 juta ha, 41% diantaranya adalah perkebunan rakyat.

Pengusahaan kelapa sawit kini menyerap lebih dari 4,5 juta tenaga kerja di sektor on farm atau perkebunan kelapa sawit. Penyerapan tenaga kerja ini akan lebih besar lagi jika tenaga kerja di sektor off farm atau pengelolahan dan jasa agribisnis kelapa sawit dimasukkan. “Belum lagi para petani plasma yang hidup dari perkebunan kelapa sawit justru akan kehilangan mata pencaharian,” ujarnya.

Andy menambahkan, dari berbagai survey yang dilakukan Labor Institute Indonesia di wilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, ternyata arus migrasi Tenaga Kerja Antar Daerah (AKAD) juga cukup tinggi dari wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur dan bekerja di berbagai perusahaan kelapa sawit di berbagai wilayah Kalimantan tersebut.

Lebih jauh, Andy menyarankan agar pemerintah memikirkan ulang rencana tersebut, dikarenakan akan menimbulkan masalah baru yaitu kehilangan pekerjaan bagi jutaan orang. Untuk itu, sinergisitas kebijakan analisis lingkungan dan ketenagakerjaan perlu dipikir lebih dalam.

“Para stakeholder baik lingkungan, industri sawit, masyarakat dan pemerintah perlu duduk bersama untuk mendiskusikan ulang rencana moratorium tersebut,” katanya.

Berbeda dengan Labor Institute Indonesia, Ketua Singapore Institute of International Affairs, Simon CS Tay, mendukung rencana moratorium izin ekspansi perkebunan kelapa sawit dan tambang oleh Pemerintah Indonesia.

"Ini sebenarnya terserah Indonesia, tapi saya rasa moratorium ide yang bagus karena terjadi ekspansi yang berlanjut dari perkebunan sawit selama ini, baik di lahan gambut maupun mineral," katanya.

Menurutnya, produksi minyak sawit bisa lebih banyak tanpa membutuhkan lahan lebih luas lagi. Jadi, menurutnya, masuk akal melakukan moratorium. Namun demikian, ia mengatakan Indonesia harus tetap menjaga posisi sebagai pemasok minyak sawit dunia, karena bagaimana pun kelapa sawit adalah tanaman sukses.

"Harus terus dipikirkan langkah terbaik untuk industri minyak sawit ini berkembang lebih maju dengan cara berkelanjutan. Jadi saya dukung (moratorium sawit)," ujar dia.

Sebelumnya, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead ditemui di sela-sela pelaksanaan Dialog Sumber Daya Dunia yang Berkesinambungan ke tiga di Singapura (3rd Singapore Dialogue Sustainable World Resources) mengatakan, pemerintah telah mendiskusikan rencana moratorium izin ekspansi kelapa sawit dan tambang ini sejak 2015.

"Apakah perlu dibatasi sekarang? karena toh harga sedang turun, permintaan juga sedang turun. Semua minyak nabati sebenarnya, tidak hanya sawit, semua dari 'crop line' turun karena permintaan turun sementara suplai berlebih," ujar dia.

Diskusi dilakukan berulang kali dan secara ekonomi telah diperhitungkan, karena bagaimana pun pemerintah mempunyai target produksi 40 juta ton minyak sawit di 2020. "Menko Perekonomian sudah menghitung sepertinya, bahwa dengan sudah cukup kok lahan yang sudah ada sekarang, asal produksi ditingkatkan maksimal".

Pemerintah, lanjutnya, telah melihat kemampuan perusahaan besar dan petani kecil seperti apa dan ternyata cukup untuk mencapai apa yang ditargetkan.

"Jadi sudah diperhitungkan, sampai akhirnya Presiden Joko Widodo mengumumkannya di Kepulauan Seribu. Nanti pasti akan ada kebijakan tertulis entah dalam bentuk Inpres atau Perpres," ujar dia.

Dia menyakini kebijakan tersebut akan keluar dalam waktu dekat. "Karena bukan model Pak Jokowi kalau bicara hari ini terus pelaksanaannya tahun depan. BRG saja coba berapa lama, dua bulan semua terlaksana" katanya.

Tags:

Berita Terkait