Aparat Dinilai Langgar Aturan Saat Lakukan Penangkapan Terkait ‘Palu Arit’
Berita

Aparat Dinilai Langgar Aturan Saat Lakukan Penangkapan Terkait ‘Palu Arit’

Secara formal, penangkapan itu menyalahi aturan dalam KUHAP. Terkait dasar hukum, aturan dalam Tap MPRS dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tak bisa dilaksanakan dengan paksa.

NNP/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Akhir pekan lalu banyak diberitakan penangkapan dan penahanan terhadap sejumlah orang lantaran menggunakan dan menjual kaos bersablon logo Palu Arit. Mereka ditangkap oleh aparat lantaran logo Palu Arit identik dengan paham atau ajaran komunisme, Marxisme-Leninisme yang disebut-sebut dibawa oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kejadian itu menjadi perhatian sendiri bagi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Pengacara Publik LBH Jakarta, Pratiwi Febri mengatakan, penangkapan dan penahanan terhadap sejumlah orang yang menggunakan kaos atau memperdagangkan kaos bergambar logo Palu Arit menyalahi prosedur hukum. Terlepas dari persoalan logo Palu Arit, secara formil proses penangkapan yang dilakukan dinilai tidak sejalan dengan apa yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Jika merujuk pada KUHAP, mestinya penangkapan dapat dilakukan apabila adanya cukup bukti.

“Jika lihat KUHAP, penangkapan ada syaratnya. Sedangkan penangkapan itu tak penuhi syarat dalam KUHAP sama sekali. Ini jadi bahaya menurut saya, Secara formil jelas itu melanggar,” ujarnya saat dihubungi hukumonline, Rabu (11/5).

Berdasarkan penelusuran, sejumlah orang telah ditangkap dan ditahan oleh aparat karena memakai atau menjual kaos bertuliskan gambar Palu Arit. Misalnya, seorang pria berinisial IM yang menjual kaos bertuliskan logo Palu Arit diamankan Kepolisian Sektor Kebayoran Baru, pada Minggu (8/5). Dari toko yang terletak di kawasan Blok M, polisi menyita enam potong kaos begambar Palu Arit.

Selain itu, polisi juga mengamankan salah seorang penjaga toko berinisial AN. Dari pemeriksaan, diketahui bahwa kaos itu adalah kaos dengan gambar cover DVD salah satu band metal ‘Kreator’ bertajuk At the Pulse Kapitulatio: Live in East Berlin 1990. Di hari yang sama, juga terjadi penangkapan di Bandar Lampung terhadap Urdya Sejiwangga Ardhanggo. Pemuda yang belakangan diketahui mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Lampung diamankan aparat dari Korem 043/Gatam saat tengah menonton konser musik di lapangan Saburai, Lampung karena pakai kaos merah bersablon Palu Arit.

Sebelumnya, pada Sabtu (7/5), seorang pria bernama Siari juga dikenakan wajib lapor dua kali dalam sepekan oleh Kepolisian Sektor Kepanjen, Kabupaten Malang karena tersangkut masalah yang sama. Pria yang diketahui berdagang kopi seduh itu mengenakan kaos bersablon logo Palu Arit milik band metal ‘Exodus’ saat berada dalam antrian pendaftaran di kantor Samsat Talang Agung.

“Terkait Palu Arit, unsur kejahatannya apa? deliknya apa? Itu sama sekali ngga berdasar hukum. Apa salahnya orang yang berdagang baju dengan gambar Palu Arit? Penangkapan yang dilakukan itu sewenang-wenang,” kritik Pratiwi.

Menurutnya, jika aparat menilai Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1956 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organiasasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dan UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara sebagai payung hukum untuk melakukan penangkapan, itu adalah hal yang keliru.

Sebab, lanjutnya, aparat mesti ingat bahwa ada aturan dalam Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai Tahun 2002. Oleh karenanya, implementasi Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1956 mestinya disesuaikan dengan aturan terbaru itu. Sementara, jika merujuk pada UU Nomor 27 Tahun 1999, implementasi tak bisa serta-merta dilakukan.

Pasal 107a aturan tersebut mengatur bahwa yang dimaksud dengan Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan Lenin, Stalin, Mao Tse Tung dan lain-lain mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila. Maka, pemakai atau penjual kaos bergambar Palu Arit tak bisa dipaksakan dengan aturan ini.

“Mereka lupa kalau Tap MPRS XXV sudah di-review ulang keberlakuannya dengan Tap MPR I. Ini tetap berlaku, tapi harus sejalan dengan hukum, keadilan, dan HAM. Artinya ada standar HAM yang perlu diperhatikan. Sedangkan dalam HAM dan hukum di Indonesia, itu menjamin kemerdekaan untuk berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan lewat lisan dan tulisan,” paparnya.

Terpisah, Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan meminta aparat selektif dalam menindak penggunaan lambang Palu Arit. Menanggapi penangkapan sejumlah orang karena menggunakan dan menjual kaos bersablon Palu Arit, ia mengatakan, apa yang dilakukan aparat agak berlebihan. Akan tetapi, Luhut pastikan bahwa pemerintah tetap mengawasi fenomena yang terjadi pasca dilangsungkannya symposium 1965 yang diprakarsai pemerintah.

“Kalau ada satu atau dua kasus, ini bisa jadi tren anak muda juga. Lihat-lihatlah, jangan berlebihan,” kata Luhut di Jakarta Senin (9/5).

Tap MPRS Masih Berlaku
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan bahwa Tap MPRS Nomor XXV sampai saat ini masih berlaku. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga telah memberikan arahan yang jelas bahwa penanganan terkait hal ini dilakukan dengan pendekatan hukum lantaran Tap MPRS Nomor XXV dan UU Nomor 27 Tahun 1999 masih berlaku.

“Karena beberapa waktu yang terakhir ini muncul, pemerintah ingin menyampaikan posisinya, gimana aturan hukum dan ketentuannya masih berlaku,” kata Pramono kepada wartawan usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Selasa (10/5) sebagaimana dilansir dari laman resmi Sekretariat Kabinet.

Di tempat yang sama, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti bersikap cukup keras menanggapi maraknya penyebaran ajaran komunisme akhir-akhir ini. Menurutnya, UU Nomor 27 Tahun 1999 menjadi dasar hukum untuk menindak upaya mempublikasikan ajaran komunisme, Marxisme-Leninisme di Indonesia. sejalan dengan arahan Presiden, Kapolri, Jaksa Agung, dan aparat penegak hukum lainnya sepaham dengan masalah proses penegakan hukum ini. Bahkan, untuk pengawasan juga akan dilibatkan peran TNI.

“Kami sudah memberikan arahan kepada seluruh jajaran untuk melakukan langkah-langkah hukum terhadap yang diduga mengandung ajaran komunisme, baik itu menyiarkan ataupun mengembangkan. Apakah bentuknya adalah bentuk atribut, kaos atau simbol-simbol termasuk juga mungkin film yang mengajarkan komunisme,” tutup Badrodin.
Tags:

Berita Terkait