Pelibatan TNI Tangani Teroris Tak Perlu Diatur dalam Revisi UU Anti Teroris
Berita

Pelibatan TNI Tangani Teroris Tak Perlu Diatur dalam Revisi UU Anti Teroris

Sudah diatur dalam UU TNI. Karena pola penanganan ditengarai bergeser menjadi war model, tidak lagi criminal justice system.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Jakarta. Foto: RES
Penanganan tindak pidana terorisme oleh penegak hukum khususnya Polri kerap mendapat protes dari kalangan masyarakat. Pelibatan TNI pun menjadi bagian dalam upaya penanganan terorisme yang dituangkan dalam draf Revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, rancangan aturan tersebut dinilai tidak tepat.

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, menilai dalam draf RUU tersebut model penanganan terorisme bergeser dari criminal justice system model menjadi war model. Padahal UU No.15 Tahun 2003 dinilai sudah tepat dengan menerapkan penanganan melalui criminal justice system. Pergeseran itu terlihat dari adanya pengaturan pelibatan TNI dalam Pasal 43 B. Menurutnya penggunaan instrumen dalam penanganan terorisme di luar penegak hukum bakal merusak tatanan demokrasi.

“Pengaturan Pasal 43B tidak diperlukan, institusi di luar penegakan hukum tidak usah dimasukkan,” ujar Al Araf dalam rapat dengar pendapat umum dengan Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Gedung DPR, Kamis (9/6).

Pasal 43B ayat (1) RUU tersebut menyebutkan, “Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh kepolisian negara republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme”. Ayat (2) menyebutkan, “Peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada kepolisian negara republik Indonesia”.

TNI memang dapat dilibatkan dalam penanganan tindak pidana terorisme. Hanya saja aturan pelibatan TNI sudah diatur gamblang dalam Pasal 7 ayat (2) b angka UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Menurut Al Araf, pelibatan TNI dapat diperbantukan sepanjang sasaran teroris tidak lagi pada masyarakat sipil, namun negara menjadi targetnya yang mengancam keutuhan dan kedaulatan. Keputusan menggunakan TNI dalam penanganan terorisme pun mesti berdasarkan keputusan kebijakan politik negara. “Mengatur masuknya TNI dalam RUU ini adalah keliru,” ujarnya.

Pria biasa disapa Al itu menyarankan perbantuan militer dalam kerja pemberantasan terorisme sebaiknya diatur dalam UU tersendiri, tidak dalam peraturan pemerintah. Menurutnya UU tentang Perbantuan lebih pas ketimbang dituang dalam RUU Terorisme. “Jadi pelibatan TNI dalam RUU ini tidak tepat dan kurang konstekstual. Sehingga kita menggunakan criminal justrice system bukan war model. Nah kita menggunakan sistem dan instrument hukum yang ada,” katanya.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Roichatul Aswida, berpandangan lembaganya tetap menilai kewenangan penanganan terorisme tetap diberikan kepada institusi kepolisian sebagai penegak hukum. TNI, mestinya tetap pada tugas pokok dan fungsinya menangani persoalan pertahanan keamanan dari serangan luar. bila serangan terorisme belakangan bergeser menyerang kedaulan negara, maka TNI dapat dilibatkan sesuai dengan aturan yang berlaku sebagai diatur dalam UU TNI. “Itu sudah jelas diatur,” katanya.

Wakil Ketua Pansus Supiadin Aries Saputra menyanggah pandangan Al Araf. Menurutnya, TNI dapat dilibatkan melalui RUU tersebut di bawah kendali Kapolri. Perbantuan TNI dalam penanganan terorisme dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dari Polri. Draf RUU yang dirancang pemerintah dinilai bertujuan untuk mengurangi aksi tindak pidana teroris.

Publik pun diminta tidak khawatir dengan pelibata TNI. Mantan jenderal bintang dua TNI itu mengatakan bila TNI diberi peran dalam RUU tersebut, maka mesti pula diberi rambu-rambu agar tidak abuse of power. Itu makanya, diperlukan pengawasan tak saja dari internal Polri, namun juga dari masyarakat.

“Kalau terjadi pelanggaran maka hukumannya keras. Tidak menutup kemungkinan upaya terorisme dijadikan separatism untuk pemberontakan seperti ISIS,” pungkas anggota Komisi I dari Fraksi Nasdem itu.

Tags:

Berita Terkait