Ini Persoalan Penerapan Kewajiban Sertifikasi Halal dari Sisi Industri
Berita

Ini Persoalan Penerapan Kewajiban Sertifikasi Halal dari Sisi Industri

Tingkat kesulitan penyesuaian kewajiban halal yang tak merata, sehingga perlu diatur spesifik dalam RPP.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Proses penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pelaksanaan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (RPP JPH) masih berlangsung alot. Sejumlah pihak terutama pelaku usaha pada industri tertentu masih menolak kewajiban halal terhadap setiap produk yang beredar dan dipergunakan di Indonesia. Padahal, undang-undang mengamanatkan paling lambat dua tahun sejak aturan terbentuk pada Oktober 2014 silam, RPP JPH wajib rampung. Artinya, kurang lebih empat bulan lagi batas waktu penyusunan aturan pelaksanaan tersebut.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch, Ikhsan Abdullah menyebutkan bahwa alasan sejumlah pelaku usaha pada industri tertentu tetap menolak kewajiban sertifikasi halal atas produk gunaan lantaran RPP JPH yang tengah disusun oleh pemerintah karena dianggap tidak mengakomodir karakteristik khusus pada industri tertentu. Akibatnya, sejumlah industri merasa dibebani lantaran tidak diberikan ruang dalam regulasi setidak-tidaknya terkait batas waktu untuk menyesuaikan terhadap kewajiban halal.

“Halal Watch melihat tingkat kesulitan industri berbeda-beda,” ujar Ikhsan saat ditemui hukumonline usai acara diskusi di Jakarta, Selasa (28/6).

Disebutkan Ikhsan, tingkat kesulitan industri untuk menyesuaikan diri dengan kewajiban halal tak bisa dipukul rata. Misalnya, industri makanan dan minuman umumnya lebih mudah bila dibandingkan dengan industri obat-obatan atau kosmetika. Menurutnya, industri obat-obatan lebih sulit menyesuaikan kewajiban halal lantaran bahan bakunya (raw material) kebanyakan memiliki titik kritis haram tinggi. Sehingga, industri obat-obatan tentu memerlukan riset mendalam dan otomatis menyita waktu yang tidak sebentar untuk meneliti lebih jauh.

Pasal 67 ayat (1) UU JPH mengatur kewajiban bersertifikat halal secara mandatory pada 17 Oktober 2019. Tapi yang menjadi perdebatan, dalam ayat selanjutnya justru dinyatakan bahwa terhadap jenis produk tertentu dilakukan sertifikasi halal secara bertahap. Aturan kewajiban bersertifikasi halal secara bertahap itu dibagi tiga tahap dalam RPP JPH. Berdasarkan draf RPP JPH yang didapat hukumonline, Pasal 3 ayat (2) menyebutkan bahwa tahapan tersebut mulai dilaksanakan dalam tiga tahap sejak 1 November 2016 mendatang.

Pada tahap pertama, produk yang harus memiliki sertifikat halal adalah yang terkait dengan makanan dan minuman. Tahap kedua, menyangkut produk yang terkait dengan kosmetik, produk kimiawi, produk rekayasa genetic, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Tahap ketiga, semua produk yang terkait dengan obat dan produk biologi. Dikatakan Ikhsan, pemberlakuan sertifikasi bertahap atas industri tertentu lebih maju pelaksanaannya dari yang diatur oleh UU JPH mestinya dikaji kembali.

“Tapi kan juga harus melihat kondisi sosiologis yang berkembang di masyarakat. Kita harus menghargai mereka, tingkat kesulitannya, ini perlu waktu. Kalau sudah mandatory, ya sudah kita berlakukan darimana dulu yang urgent dilakukan apakah makanan atau minuman baru yang terakhir obat,” paparnya.

Sebagai tindak lanjutnya, Ikhsan mengatakan, bahwa Indonesia Halal Watch juga secara resmi telah memberikan pandangan serta masukannya kepada Kementerian Agama RI terkait permasalahan pemberlakuan secara bertahap terhadap industri tertentu. Pihaknya membuat semacam ‘RPP tandingan’ yang lebih mengakomodir setiap kepentingan stakeholder. Intinya, ia berharap agar kewajiban sertifikasi halal ini bisa dilaksanakan tanpa ada pihak yang keberatan dalam hal pengaturan pada regulasi terkait.

InsyaAllah diperhatikan sebagai masukan kami dan itu menjadi acuan bersama bagaimana membuat PP yang mengakomodir dari berbagai kepentingan bisnis,” ucapnya.

Dimintai tanggapannya, Kasubdit Produk Halal Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Siti Aminah membantah bila kewajiban sertifikasi halal yang diatur dalam RPP JPH ‘lebih maju’ daripada yang diatur oleh UU JPH. Siti menjelaskan bahwa pengaturan bertahap terhadap sejumlah industri dimaksudkan untuk mempersiapkan industri agar saat mandatory nantinya seluruh industri telah memiliki sertifikat halal.

“Ujungnya tetap sama Oktober 2019. Maksudnya dari sekarang teman-teman pelaku usaha sudah bisa mulai, prepare waktu mempersiapkan hal-hal untuk kewajiban. Itu bukan batas akhir,” tegasnya.

Lebih lanjut, Siti tak menampik bila rumusan dalam RPP JPH memberi kesan wajib secara bertahap dan mengesampingkan serta mendahului yang diatur oleh UU JPH. Namun, ia tegas menyatakan bahwa sebetulnya aturan bertahap itu murni untuk mempersiapkan industri tertentu terkait pelaksanaan sertifikasi halal.

Oleh karenanya, sekira akhir Juli 2016 nanti Kementerian Agama RI akan mengundang sejumlah kementerian dan pihak terkait untuk harmonisasi RPP JPH. Siti memprediksi pembahasan nantinya akan alot terutama atas industri yang menolak kewajiban sertifikasi halal. Saat ditanya mengenai sikapnya ketika masih ada industri yang tetap menolak meski pembahasan RPP telah diketok, ia tak mempermasalahkan sama sekali.

“Masih menolak, tinggal cantumkan label tidak halal. Yang rugi siapa? Orang Indonesia sendiri. Semua negara mulai buat obat dan kosmetik halal karena pangsa Indonesia besar. Kita tidak ingin produk lokal tergerus. Thailand sudah mulai mau bikin obat halal. Teman-teman di sini mulai bertahap lah mempersiakan itu dan bicarakan ke kita. Kewajiban tidak bisa di nego tapi tahapannya bisa dikompromikan,” jelasnya.

Permasalahan Lain
Catatan Indonesia Halal Watch menunjukkan bahwa permasalahan lain yang akan muncul nantinya dalam implementasi kewajiban sertifikasi halal adalah tidak jelasnya permasalahan ‘definisi’ atas produk gunaan yang menjadi objek sertifikasi. Merujuk ke UU JPH, hanya disebutkan bahwa ‘produk’ adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Masih ‘general’ definisi produk yang mesti disertifikasi menurut Ikhsan berdampak pada sulitnya mengelompokkan jenis produk tertentu. Ia menilai, jenis-jenis produk wajib dibuat dalam daftar panjang secara rinci dan jelas agar tidak terjadi multitafsir saat penerapannya nanti.

“Misalnya yang dimaksud dengan alat kesehatan (alkes) itu masuk kemana. Itu tidak clear karena UU JPH tidak mengatur secara utuh. Di PP agak sulit diatur. Tidak boleh juga menjadi meraba-raba nantinya,” kata Ikshan.

Menanggapi hal itu, Siti juga sependapat dengan Ikhsan bahwa definisi mesti dirinci secara jelas agar tidak menimbulkan permasalahan saat pelaksanaannya. Menurutnya, permasalahan definisi ini juga akan menjadi poin penting yang akan dibahas saat harmonisasi RPP JPH dengan sejumlah kementerian dan pihak terkait.

Pasal 4 draf RPP JPH mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai rincian jenis produk barang atau jasa akan diatur dalam Peraturan Menteri (Permen). “Jadi kami butuh bantuan dari temen-teman kementerian lain untuk definisikan barang gunaan, rekayasa genetika apa saja, mendefinisikan lebih detil lagi,” sebutnya.
Tags:

Berita Terkait