Upaya Singapura Cegah Repatriasi Dinilai Tak Langgar Hukum
Berita

Upaya Singapura Cegah Repatriasi Dinilai Tak Langgar Hukum

Pemerintah harus segera merespon fenomena tersebut dengan merumuskan kebijakan taktis dan strategis.

KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW
Belakangan ini perbankan Singapura ramai menawarkan kentungan bagi warga negara Indonesia (WNI) agar tidak melakukan repatriasi. Ada tiga rayuan yang diumbar oleh pihak bank Singapura. Pertama, WNI diminta hanya mendeklarasikan asetnya yang ada di Singapura dan pihak bank akan membayar selisih antara tarif repatriasi dengan deklarasi aset. Kedua, kemudahan mendapatkan kewarganegaraan Singapura. Ketiga, jaminan kerahasiaan data.

“Upaya tersebut dijalankan secara private atau person to person. Alih-alih repatriasi, WNI dirayu untuk hanya mendeklarasikan kepemilikan asetnya. Sebab, kebijakan tax amnesty diperkirakan akan membuat likuiditas Singapura anjlok jika nasabah Indonesia memulangkan asetnya ke Tanah Air. Hampir 60% nasabah perbankan Singapura adalah WNI,” ungkap Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, Selasa (26/7).

Yustins mengingatkan bahwa langkah yang diambil beberapa pihak di Singapura merupakan hal yang lumrah dan tidak melanggar hukum. Menurutnya, negara mana pun tentu akan berupaya mempertahankan eksistensinya sebagai reaksi terhadap kebijakan negara lain yang berpotensi merugikan kepentingannya. Apa yang dilakukan Singapura bukanlah hal yang tiba-tiba dan reaktif.

“Justru mereka sudah dengan cermat berhitung dan menyusun langkah-langkah antisipasi terhadap inisiatif global untuk menangkal praktik penghindaran pajak yang agresif,” tandasnya.

Ia juga menilai, apa yang dilakukan Singapura tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi bereaksi yang cenderung emosional dan tidak terukur. Justru, Yustinus melihat hal itu sebagai tantangan konkret bagi Pemerintah untuk menempatkan amnesti pajak dalam kerangka reformasi fiskal dan moneter yang komprehensif.

Dirinya mengatakan, masih buruknya perencanaan dan tata kelola fiskal dan moneter di Indonesia merupakan insentif cuma-cuma yang diberikan kepada negara lain untuk memfasilitasi dana milik WNI yang mencari kepastian dan kenyamanan. Di pihak lain, pernyataan dan penegasan Presiden bahwa amnesti pajak berfokus pada repatriasi dana merupakan harga mati bagi kesuksesan program ini.

“Visi Presiden ini sudah sepantasnya didukung komitmen dari seluruh institusi pemerintahan dan segenap rakyat Indonesia. Untuk itu, amnesti pajak harus dapat diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia dengan mudah dan pasti. Peraturan turunan, standar pelayanan, teknis pelaksanaan, dan tindak lanjut harus dipastikan tersedia dengan baik. Segala bentuk penyimpangan tidak dapat ditolerir demi kredibilitas amnesti pajak,” paparnya.

Selain itu, ia mendesak agar pemerintah segera merespon fenomena tersebut dengan merumuskan kebijakan taktis dan strategis. Hal yang jangka pendek dapat dilakukan adalah menerbitkan payung hukum yang memuat peta jalan reformasi hukum, fiskal dan moneter secara komprehensif.

Selain itu, peningkatan kepastian hukum dan koordinasi antarlembaga penegak hukum juga menjadi hal penting. Ditambah dengan debirokratisasi dan implementasi paket kebijakan ekonomi.  Ia menambahkan, reformasi perpajakan yang memuat revisi UU Perpajakan yang lebih berkepastian dan berkeadilan harus segera mengiringi amnesti pajak.

“Ini sebagai langkah pembenahan administrasi perpajakan, peningkatan kompetensi dan integritas aparatur pajak, dan transformasi kelembagaan,” ujarnya.

Pemerintah, menurutnya juga perlu menegaskan keberpihakan pada penguatan perbankan nasional. Untuk itu, ia melihat bahwa sudah layak dan sepantasnya amnesti pajak ini menjadi kesempatan untuk Bank-bank BUMN ambil bagian yang utama dan pertama, sambil mereka diberi kesempatan berkembang dan kuat. Jika kemudian bank-bank BUMN tidak sanggup menampung dan menyalurkan dana repatriasi, kesempatan dapat diberikan kepada Bank Swasta Nasional.

“Hal yang belum terselesaikan dan ditunggu kepastiannya oleh masyarakat wajib pajak adalah koordinasi kelembagaan antara Pemerintah dan KPK terkait kerahasiaan data amnesti dan LHKPN, dengan PPATK terkait kewajiban pelaporan transaksi dan pengenalan nasabah, dan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) terkait pengungkapan harta dalam rangka amnesti dan opini serta kewajiban pernyataan kembali oleh akuntan publik. Tanpa memberi kepastian terkait tiga hal ini, amnesti pajak dikhawatirkan tidak akan optimal,” jelasnya.

Optimis Bertambah
Juru Bicara Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan penerimaan uang tebusan dari program amnesti pajak telah mencapai Rp23,7 miliar, meski pelaksanaan dari kebijakan ini baru berjalan efektif selama satu minggu. "Tebusannya telah mencapai Rp23,7 miliar, itu dari deklarasi aset sebesar Rp989 miliar," kata Luky.

Luky menjelaskan uang tebusan tersebut seluruhnya berasal dari deklarasi aset dengan rincian sebesar Rp735 miliar dari deklarasi aset dalam negeri dan sebanyak Rp253 miliar dari deklarasi aset luar negeri. "Jumlah itu berasal dari 82 Surat Pernyataan Harta (SPH)," ujar Kepala Pusat Analisis dan Harmonisasi Kebijakan ini.

Luky optimis para wajib pajak yang melakukan deklarasi aset maupun repatriasi modal dari luar negeri semakin bertambah, terutama menjelang berakhirnya masa periode pertama pada akhir September 2016. "Kalau ada penumpukan di akhir periode tidak terhindarkan 'by nature', tapi kita bisa ekspektasi nanti di akhir September, karena periode satu menawarkan 'rate' paling rendah," ucapnya.

Ia menambahkan program amnesti pajak telah menarik minat para wajib pajak yang mengikuti sosialisasi di Surabaya dan Medan, apalagi jumlah panggilan di call center layanan tax amnesty telah mencapai ribuan.

"Call center amnesti pajak sudah menerima 3.200-an pertanyaan meski baru beroperasi total delapan hari. Sosialisasi di Surabaya dan Medan, selalu 'full house', ini sangat jauh ketika penyelenggaraan 'sunset policy' 2008," ungkapnya.

Dengan demikian, ia mengharapkan pelaksanaan amnesti pajak bisa berjalan lancar, sehingga repatriasi modal serta deklarasi aset yang dilakukan wajib pajak bisa memberikan stimulus bagi perekonomian nasional.

Program amnesti pajak akan berlaku selama sembilan bulan mulai dari 1 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017 dan terbagi atas tiga periode masing-masing selama tiga bulan. Pembagian periode tersebut juga diikuti dengan pengenaan tarif tebusan secara bertahap untuk repatriasi modal maupun deklarasi aset.

Tarif tebusan untuk repatriasi modal pada periode pertama (Juli-September) sebesar 2 persen, kemudian diikuti periode kedua (Oktober-Desember) sebesar 3 persen, dan periode ketiga (Januari-Maret 2017) sebesar 5 persen. Sedangkan, tarif tebusan untuk deklarasi aset pada periode pertama (Juli-September) sebesar 4 persen, kemudian diikuti periode kedua (Oktober-Desember) sebesar 6 persen, dan periode ketiga (Januari-Maret 2017) sebesar 10 persen.

Tags:

Berita Terkait