Ahli Sebut Periodeisasi Hakim Ad Hoc PHI Diskriminatif
Berita

Ahli Sebut Periodeisasi Hakim Ad Hoc PHI Diskriminatif

Putusan MK No. 6/PUU-XIV/2016 bisa menjadi rujukan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
PHI Jakarta di Jalan Gatot Subroto. Foto: SGP
PHI Jakarta di Jalan Gatot Subroto. Foto: SGP
Dari segi tugas dan kewenangan, tidak ada perbedaan antara hakim ad hoc pada Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dengan hakim pengadilan negeri (karier). Hanya saja, praktiknya hakim pengadilan negeri di PHI akan selalu menjadi ketua dan hakim ad hoc PHI menjadi anggota majelis yang semuanya sebagai hakim di bawah Mahkamah Agung (MA) yang berkedudukan sebagai pejabat negara.

Pandangan ini disampaikan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan saat memberi keterangan sebagai ahli di sidang keempat pengujian Pasal 67 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pengujian ini dimohonkan hakim ad hoc PHI, Mustofa dan Sahala Aritonang.

Maruarar mengatakan persamaan kedudukan dan status hakim ad hoc dan hakim karier ini disebutkan Pasal 31 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman. Beleid ini menyebutkan hakim pengadilan di bawah MA merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah MA.

“Adanya perbedaan batasan masa jabatan bagi hakim ad hoc PHI dengan hakim lain dalam lingkungan MA bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum yang dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai prinsip konstitusi yang harus ditegakkan,” kata Maruarar dalam persidangan.

Ditegaskan Maruarar, adanya perbedaan perlakuan dan aturan antara hakim ad hocPHI dan hakim karier menunjukkan bukti ketidaksamaan di hadapan hukum. Hakim ad hocPHI hakikatnya sama seperti hakim karier. Hanya saja jalur rekrutmennya berbeda dengan hakim nonkarier.

“Hakim ad hoc PHI adalah hakim sebagai pengemban tugas penyelenggara kekuasaan kehakiman di bawah MA dari jalur nonkarier. Seharusnya diperlakukan sama,” tegasnya.

Menurut Rektor Universitas Kristen Indonesia itu, masa jabatan periodik hakim ad hoc PHI mirip seperti jabatan politik yang diangkat kembali untuk masa jabatan berikutnya selama 5 tahun. Padahal, jabatan hakim ad hoc PHI bukanlah jabatan politik yang potensial menghambat independensi.   “Putusan MK No. 6/PUU-XIV/2016 tanggal 4 Agustus 2016 tentang uji materi Pasal 13 ayat (1) huruf c UU No. 14 Tahun 2002  tentang Pengadilan Pajak, bisa menjadi rujukan persamaan perlakuan dan nondiskriminasi terhadap status hakim ad hoc PHI ini,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Pemohon menghadirkan beberapa orang saksi. Salah satunya hakim ad hoc PHI Surabaya, Alfil Syahril. Dalam keterangannya, Syahril menjelaskan tugas dan kewenangan yang sama dengan hakim karier, kecuali ada beberapa hak yang berbeda termasuk tunjangan hakim karier.

Para Pemohon menilai Pasal 67 ayat (2) UU PPHI yang mengatur masa tugas masa jabatan hakim ad hocuntuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali masa jabatan berikutnya ini menimbulkan perlakuan diskriminasi. Sebab, periodeisasi masa jabatan hakim ad hoc PHI tidak berlaku bagi hakim peradilan lain di bawah MA.

Menurutnya, periodisasi masa jabatan hakim ad hoc PHImenimbulkan masalah keberlanjutan penyelesaian perkara perselisihan hubungan industrial. Para Pemohon khawatir tidak dapat menuntaskan perkara perselisihan hubungan industrial yang seharusnya memberikan perlindungan yang adil bagi pekerja, pengusaha, dan pemerintah.

Karena itu, Para Pemohon meminta MK menghapus Pasal 67 ayat (2) UU PHI. Kalaupun tidak dihapus, MK bisa menyatakan pasal itu inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai frasa “masa tugas hakim ad hoc untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk jangka waktu 5 tahun berikutnya oleh Ketua MA hingga batas usia pensiun hakim yakni 62 tahun untuk ad hoc pada Pengadilan Negeri dan 67 tahun untuk hakim ad hoc pada MA”.
Tags:

Berita Terkait