12 Putusan MK yang Menarik Perhatian Publik Sepanjang 2016
Berita

12 Putusan MK yang Menarik Perhatian Publik Sepanjang 2016

Mulai terkait transportasi hingga pengampunan pajak.

Oleh:
CR-22
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Kewenangan menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 merupakan mahkota yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Tercatat sejak 2003, sebanyak 1.032 perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) yang telah ditangani oleh MK dengan jumlah yang telah diputus sebesar 954 perkara.

Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua MK, Arief Hidayat dalam Konferensi Pers Akhir Tahun 2016 beberapa waktu lalu. Dalam menjalankan wewenang PUU sepanjang 2016, terdapat 12 putusan MK yang dipandang menarik perhatian publik. Putusan-putusan tersebut antara lain:

1. Alat Berat Bukan Moda Transportasi
Melalui pengujian UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), para pemohon mempersoalkan penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf e bagian c yang mengelompokkan alat berat sebagai kndaraan bermotor. Akibat klasifikasi ini, terdapat sejumlah konsekuensi, antara lain, alat berat harus mengikuti uji tipe dan uji berkala serta memiliki perlengkapan kendaraan seperti halnya kendaraan bermotor. (Baca Juga: Putusan Ini ‘Kado’ Perjuangan untuk Bang Buyung)

Menurut MK, secara teleologis, alat berat dan kendaraan bermotor jelas berbeda. Alat berat merupakan alat produksi sementara fungsi kendaraan bermotor adalah sebagai moda transportasi. Perbedaan ini cukup menjadi bukti bahwa alat berat tidak dapat disamakan dengan kendaraan bermotor. Sehingga dalam Putusan Nomor 3/PUU-XIII/2015 yang dibacakan pada 31 Maret 2016, MK menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon.

2. Pengembang Wajib Fasilitasi Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun
Pengembang rumah susun wajib memfasilitasi pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susus (PPPSRS) belum sepenuhnya terjual. Demikian inti Putusan Nomor 21/PUU-XIII/2015 Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, 10 Mei 2016. Pembentukan PPPSRS merupakan kewajiban bagi pemilik Sarusun yang apabila tidak dilaksanakan diancam dengan sanksi administratif yang jenisnya ditentukan dalam Pasal 108 UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. (Baca Juga: MK: Pengembang Wajib Fasilitasi Pembentukan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun)

3. Jaksa Tidak Boleh PK
Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK). Sebab, falsafah yang mendasari PK adalah sebagai instrumen bagi perlindungan hak asasi terpidana. Sehingga, MK berpandangan bahwa pengajuan PK hanya dibatasi bagi terpidana atau ahli warisnya. Putusan ini tertuang dalam Putusan Nomor 33/PUU-XIV/2016 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pada tanggal 12 Mei 2016. (Baca Juga: Akhirnya... MK Larang Jaksa Ajukan PK)

4. Pengajuan Grasi Tanpa Limitasi
Melihat adanya kemungkinan terjadinya kesalahan dalam sistem peradilan, lembaga grasi hadir sebagai solusi dalam rangka memberukan perlakuan manusiawi dan meluruskan proses hukum yang tidak benar. Sehingga, limitasi pengajuan grasi petensial menghilangkan hak konstitusional terpidana, khususnya terpidana mati. Hal ini yang menjadi pertimbangan MK dalam memutuskan pembatasan permohonan grasi dalam pasal 7 ayat (2) UU Grasi dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi. Hal ini tertuang dalam Putusan Nomor 107/PUU-XIII/2015,  pada 15Juni 2016.(Baca Juga: MK Kembali Buat Putusan Penting)

5. Calon Kepala Desa Tidak Terikat Syarat Domisili
Syarat Domisili mengebiri hak konstitusional warga untuk maju sebagai kepala desa. Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) termasuk dalam rezim hukum pemerintahan daerah yang tidak mengenal syarat domisili. Sehingga menurut MK, pemilihan kepala desa dan perangkat desa tidak perlu dibatasi dengan syarat domisili. MK dalam amar putusannya Nomor 128/PUU-XIII/2015 Pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, pada 23 Agustus 2016,menyatakan ketentuan mengenai domisili dalam Pasal 33 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf c UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. (Baca Juga: Syarat Domisili Kepala Daerah Melanggar Konstitusi)

6. Pengusaha Harus Membayar Penuh Upah Tertangguh
Selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan, adalah hutangn pengusaha yang harus dibayarkan. Penangguhan pembayaran upah minimum sebagaimana diatur dalam Pasal 90 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak serta merta menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar selisih upah minimum dengan pembayaran yang dilakukan oleh pengusaha selama masa penangguhan. (Baca Juga: Putusan MK Ini Kabar Baik Buat Pekerja)

Terdapat inkonsistensi norma Pasal 90 ayat (1) dan pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dengan penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Inkonsistensi inilah yang telah menimbulkan penafsiran yang berbeda terkait penangguhan pembayaran upah minimum pengusaha kepada pekerja/buruh. Oleh karena itu, dalam putusan Nomor 72/PUU-XIII/2015,pada 29 September 2016,MK menegaskan penjelasan pasal 90 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentang dengan UUD 1945.

7. Perjanjian Dapat Dilakukan Pada Masa Perkawinan
Perjanjian perkawinan kini dapat dilakukan sebelum perkawinan  (pra-nikah) atau selama dalam ikatan perkawinan. Demikian putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 Pengujian Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1074 tentang Perkawinan, 27Oktober 2016. Perjanjian perkawinan lazim dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Faktanya ada fenomena suami istri yang baru membuat perjanjian perkawinan selama dalam ikatan perkawinan. (Baca Juga: MK ‘Perlonggar’ Makna Perjanjian Perkawinan)

8. Petani Dapat Memuliakan Tanaman Tanpa Izin
Petani Kecil dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul tanpa perlu izin dari kementrian atau institusi lain yang terkait. Demikian salah satu inti Putusan No. 138/PUU-XIII/2015 Pengujian Undang-Undang No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, pada 27 Oktober 2016. Pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan untuk mempertahankan kemurnian jenis dan/atau varietas yang sudah ada atau menghasilkan jenis dan/atau varietas baru yang lebih baik.

Pemulian tanaman berkaitan langsung dengan kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetis, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU Perkebunan. Dalam pertimbangan MK, “perseorangan pertani kecil” telah diakui keabsahannya untuk melakukan pencarian dan pengumpulan sumber data genetik, maka dengan sendirinya pengakuan dan keabsahan demikian juga berlaku terhadap kegiatan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. (Baca Juga: Putusan MK Ini Lindungi Petani Kecil)

9. Hak Pilih Bagi Pengidap Gangguan Jiwa Non-Permanen
pengidap gangguan jiwa/gangguan ingatan memiliki hak pilih dalam pemilihan umum, sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen. Hal ini ditegaskan dalam putusan No. 135/PUU-XIII/2015, 13 Oktoober 2016. Gangguan jiwa dan gangguan ingatan masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda. Gangguan ingatan, adalah masalah yang ditimbulkan oleh kemunduran atau penurunan kualitas fisik yaitu otak sebagai wahana penyimpan dan pemroses memori.

Sedangkan gangguan jiwa tidak selalu disebabkan oleh masalah penurunan kualitas fisik belaka. Tanda baca “/”(garis miring) dalam frasa “gangguan jiwa/ingatan” yang tercantum dalam Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada harus ditegaskan bukan dalam konteks menyamakan antara gangguan jiwa dengan gangguan ingatan, tetapi adalah pengelompokan dua kategori berupa gangguan jiwa dan gangguan ingatan sebagai satu himpunan yang dikecualikan dari warga negara yang berhak untuk didaftar dalam daftar pemilih. (Baca Juga: MK Putuskan Penderita Gangguan Jiwa Permanen Tak Bisa Ikut Pilkada)

10. Penguasaan Negara Terhadap Listrik
Praktik Unbundling dalam usaha penyediaan tenang listrik untuk kepentingan umum merupakan praktik yang tidak dibenarkan dan bertentangan dengan konstitusi. Demikian inti putusan Nomor 111/PUU-XIII/2015 ihwal pengujian Undang-Undang No. 30 tahun 2009, pada 14 November 2016. (Baca Juga: Putusan MK Perkuat Bisnis Penyediaan Tenaga Listrik oleh PLN)

11. Penyadapan Seizin Aparat Berwenang
Kewenangan Penyadapan tidak dapat dilakukan tanpa kontrol. Penegak hukum yang paling berwenang memberi izin melakukan penyadapan adalah pengadilan atau pejabat yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang. Demikian putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016. (Baca Juga: Uji Materi UU ITE Setnov Diterima Sebagian, 2 Hakim Dissenting Opinion)

12. Konstitusionalitas UU Pengampunan Pajak
Salah satu tujuan diberlakukannya kebijakan pengampunan pajak adalah untuk merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Demikian antara lain bunyi pendapat MK dalam Putusan uji materi Undang-Undang No. 11 Tahun 2016, pada 14 Desember 2016. (Baca Juga: Pengujian UU Pengampunan Pajak Ditolak, Begini Alasan MK)
Tags:

Berita Terkait