ICW: SEMA 4/2016 Berpotensi Hambat Pemberantasan Korupsi
Berita

ICW: SEMA 4/2016 Berpotensi Hambat Pemberantasan Korupsi

Pasalnya, BPKP dan institusi di luar BPK tidak bisa menyatakan kerugian Negara.

Oleh:
YOZ
Bacaan 2 Menit
ICW. Foto: RES
ICW. Foto: RES
Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Surat Edaran No.4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016). Surat Edaran ini disampaikan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di seluruh Indonesia.

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, berpandangan pada Bagian A angka 6 SEMA 4/2016 disebutkan bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan konstitusional. Artinya, badan-badan audit lain selain BPK tidak berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Badan-badan audit lainnya termasuk BPKP, hanya berwenang mengaudit dan memeriksa pengelolaan keuangan negara.

Menurutnya, peran institusi lain di luar BPK untuk menyatakan kerugian Negara adalah kebutuhan mendesak dalam upaya pemberantasan korupsi, khususnya pada upaya pembuktian di pengadilan. Berdasarkan hasil pemantauan ICW, kata Lalola, pada semester 1 (Januari – Juni) tahun 2016, sekitar 76,56% atau 294 terdakwa dijerat menggunakan pasal 3 UU Tipikor, pasal yang berhubungan dengan kerugian Negara (total 325 perkara korupsi, 384 terdakwa). (Baca Juga: Ini SEMA Hasil Pleno Kamar 2016)

Lalola mengatakan, pedoman ini berpotensi menimbulkan multitafsir perihal institusi mana yang berwenang menghitung kerugian Negara, guna pembuktian di pengadilan. Dikhawatirkan upaya perhitungan kerugian Negara yang dilakukan BPKP (institusi diluar BPK) kembali menuai perdebatan.

“Padahal, ada banyak catatan keberhasilan mereka dalam melakukan perhitungan kerugian Negara kasus besar dan terbukti di pengadilan, sebut saja kasus Gubernur Sulawesi Tenggara (3 triliun). Terbaru adalah kasus e-KTP dengan potensi kerugian Negara 2,3 triliun rupiah, yang segera dilimpahkan ke Pengadilan,” kata Lalola dalam siaran pers yang dikutip hukumonline, Sabtu (21/1). (Baca Juga: Agar Sistem Kamar MA Optimal)

Dia menambahkan, perdebatan mengenai kewenangan BPKP melakukan audit dan memberikan pendapat tentang ada atau tidaknya kerugian keuangan negara dalam perkara korupsi pernah terjadi. Pada tahun 2012, kata Lalola, Eddie Widiono pernah mengajukan permohonan pengujian materi ke Mahkamah Konstitusi terkait kewenangan BPKP menetapakan kerugian keuangan negara melalui penerbitan LHPKKN (Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Keuangan Negara).

Hasilnya, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Eddie Widiono dengan beberapa pertimbangan. Pertama, tindakan KPK untuk berkoordinasi dengan institusi lain seperti BPKP tidak bertentangan dengan konstitusi. “Hal tersebut justru dipandang sebagai upaya mengefektifkan fungsi dan kewenangannya untuk memberantas korupsi,” ujar Lalola. (Baca Juga: Evaluasi Kinerja Hakim Agung Potensial Langgar Independensi)

Kedua, kewenangan BPKP dan BPK masing-masing telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. BPKP merupakan salah satu lembaga pemerintah yang bekerja berdasarkan Keppres No.103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen.

Selain itu, dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pasal 3 huruf e Perpres BPKP menyebutkan bahwa BPKP menyelenggarakan fungsi audit penghitungan kerugian keuangan negara atau daerah.

Ketiga, kewenangan BPKP menentukan ada atau tidaknya kerugian negara melalui LHPKKN, tetap konstitusional dan relevan dalam perkara korupsi. Keempat, UU Tipikor memungkinkan penghitungan kerugian keuangan negara tidak hanya dilakukan oleh BPK.

Menurut Lalola, penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2001 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, kata Lalola, ICW meminta Ketua Mahkamah Agung untuk: 1. Merevisi Bagian A Angka 6 SEMA 4/2016 agar kewenangan BPKP melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara menjadi semakin jelas, termasuk institusi lain atau akuntan publik. 2. Melakukan harmonisasi SEMA 4/ 2016 dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang relevan dengan penghitungan kerugian keuangan Negara.

Tags:

Berita Terkait