Evaluasi Kinerja Hakim Agung Potensial Langgar Independensi
RUU Jabatan Hakim

Evaluasi Kinerja Hakim Agung Potensial Langgar Independensi

Penurunan batas usia pensiun bagi hakim agung/hakim tinggi/hakim dalam RUU Jabatan Hakim pun dipertanyakan.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Profesi hakim. Foto: RES (Ilustrasi)
Profesi hakim. Foto: RES (Ilustrasi)
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani Achmad, menilai aturan evaluasi kinerja per lima tahun bagi hakim agung yang termuat dalam RUU Jabatan Hakim potensial melanggar prinsip independensi peradilan. Sebab, adanya evaluasi kinerja hakim agung yang bisa berujung pada pemberhentian ini justru membuat jabatan ini tidak nyaman dan terganggunya independensinya.   

“Kalau hakim ingin tetap independen, seharusnya masa jabatannya tidak terlalu pendek. Kalau jabatan pendek (per lima tahun), dievaluasi dan bisa di-layoff (diberhentikan) dengan mudah, saya khawatir ini malah menggangu independensi,” ujar Astriyani Ahmad di sela-sela acara Diskusi Publik bertajuk “Mendukung Pengadilan yang Profesional dan Modern” kerja sama ED-UNDP - Hukumonline di Jakarta, Senin (19/12) lalu.  

Dia menegaskan umumnya masa jabatan hakim di negara manapun membutuhkan secure (keamanan) dan kenyamanan dalam menjalankan tugas-tugas peradilan. Karena itu, masa jabatan hakim dibutuhkan waktu yang proporsional agar bisa bekerja lebih aman dan nyaman, sehingga bisa menjamin independensinya dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan. (Baca Juga:  Butuh Perppu untuk Rekrutmen Calon Hakim)    

Menurutnya, mekanisme dan metode evaluasi kinerja hakim agung termasuk lembaga mana yang berwenang melakukan penilaian dianggap belum jelas. Soalnya, bagaimana mekanisme dan metode evaluasi kinerja hakim agung dalam RUU Jabatan Hakim ini tidak diatur sedemikian rupa.

“Saya sudah baca RUU Jabatan Hakim, pertimbangan DPR munculnya pasal itu belum ada. Menurut saya, aturan jabatan hakim agung yang sekarang sudah lebih baik. Kalau memang sebagian besar hakim agung mau diberhentikan, tentu prosesnya tidak mudah. Apalagi, mencari dan memilih calon hakim agung yang berkualitas saja susah banget,” bebernya.

Penurunan usia pensiun
Terlebih, lanjut dia, persoalan ini diperparah dengan adanya aturan penurunan usia pensiun hakim agung/hakim tinggi/hakim. “Saya belum tahu pertimbangan rasionalitas penurunan batas usia pensiun hakim? Saya sendiri sudah tanya saat rapat dengar pendapat umum di DPR, tetapi jawaban argumentasi belum jelas. Kalaupun akhirnya penurunan usia pensiun hakim disetujui, seharusnya aturan ini tidak berlaku retroaktif (surut),” sarannya. (Baca juga: Seputar Status Hakim dalam RUU Jabatan Hakim)

“Para hakim yang sekarang ini kan diangkat berdasarkan ketentuan yang lama. Ini agar tidak merugikan mereka,” dalihnya.     

Di tempat yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Ningrum Natasya Sirait juga mempertanyakan penurunan batas usia pensiun bagi hakim agung/hakim tinggi/hakim. Sebelumnya, rasionalitas saat dinaikan usia pensiun hakim agung menjadi 70 tahun saja jelas, misalnya agar lebih pengalaman dan matang dalam menyelesaiakan setiap perkara.       

“Nah, rasio usia pensiun hakim diturunkan ini apa? Saya sendiri belum tahu apa pertimbangan DPR. Dalam konsideran RUU Jabatan ini mesti dipertimbangkan secara jelas, kenapa dulu dinaikan, sekarang malah diturunkan, sebenarnya tujuannya apa? Kalau pertimbanganya jelas, ini bisa diperdebatkan,” katanya.  (Baca juga: Masuk Birokrasi, Hakim Mesti Tinggalkan Status Pejabat Negara).

Sebelumnya, MA berkeberatan aturan usia pensiun hakim/hakim tinggi/hakim agung dan periodeisasi lima tahun masa jabatan hakim agung. Seperti diatur Pasal 51 ayat (2) dan Pasal 31 RUU Jabatan Hakim. MA menilai dua aturan itu yang bisa mengganggu pelaksanaan tugas peradilan dan berdampak kekurangan hakim semua tingkatan. Hal ini menimbulkan keresahan (protes) di kalangan para hakim dan para hakim agung.  

Bagi MA, pengurangan usia pensiun hakim di berbagai tingkatan ini akan berdampak semakin berkurangnya tenaga hakim, hakim tinggi, dan hakim agung. “Kalau ini disahkan menghambat regenerasi hakim karena separuh hakim agung yang ada sekarang ‘habis’ (langsung seketika pensiun, red) termasuk hakim tinggi. Apalagi, hakim tingkat pertama yang sudah 6 tahun ini tidak ada rekrutmen,” kata Juru Bicara MA, Suhadi beberapa waktu lalu.

Tak hanya MA, IKAHI dan Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) juga merasa keberatan dengan dua aturan itu. Bahkan, FDHI meminta DPR agar kedua pasal dalam RUU Jabatan Hakim itu dihapus.

Pasal 31 RUU Jabatan Hakim menyebutkan hakim agung memegang jabatan selama 5 tahun dan dapat ditetapkan kembali setiap 5 tahun berikutnya setelah melalui evaluasi yang dilakukan Komisi Yudisial. Nantinya, hasil evaluasi KY disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. Sementara Pasal 51 ayat (2) menyebutkan pemberhentian hakim secara hormat atau pensiun ketika memasuki usia 60 tahun. Sementara untuk hakim tinggi memasuki usia 63 tahun dan hakim agung memasuki usia 65 tahun.

Tags:

Berita Terkait