Amnesti Pajak, Data Transaksi Kartu Kredit, dan Program Kartin1
Utama

Amnesti Pajak, Data Transaksi Kartu Kredit, dan Program Kartin1

Pasca tax amnsety, DJP merilis program Kartin1.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES
Beberapa waktu lalu, publik sempat dihebohkan oleh rencana pemerintah terkait kewajiban penyampaian data transaksi kartu kredit oleh penyelenggara kartu kredit kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Rencana tersebut menjadi polemik, nasabah-nasabah kartu kredit merasa khawatir jika seluruh transaksi keuangan kartu kredit akan dibebankan pajak. Belum lagi beberapa pihak menilai jika pembukaan data kartu kredit bertentangan dengan UU Perbankan.

Namun DJP langsung melakukan klarifikasi atas isu tersebut. DJP mengatakan bahwa penyampaian data transaksi kartu kredit bukanlah bertujuan untuk membebankan pajak melainkan sebagai data perbandingan Wajib Pajak (WP). DJP juga menegaskan bahwa pembukaan data kartu kredit bukanlah menjadi bagian dari kerahasiaan data yang harus dijaga oleh perbankan.

DJP merujuk Pasal 1 angka 8 UU Perbankan yang menyebutkan bahwa “Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya”.  Menurut DJP, pasal tersebut sekaligus menegaskan data nasabah kartu kredit tidak masuk kategori data yang harus dirahasiakan.

Tak lama setelah wacana tersebut berkembang, Menteri Keuangan (Menkeu) mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 39/PMK.03/2016 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Khusus untuk data kartu kredit dinyatakan mulai berlaku pada 31 Mei 2016. (Baca Juga: Penyidik Pajak Akan Dapat Izin Akses Data Nasabah Perbankan dalam 14 Hari)

Pada dasarnya perubahan kelima ini mengubah substansi sepuluh angka dalam PMK sebelumnya, dan menambah angka 62-67 pada Lampiran PMK tersebut. Dalam angka 67 Lampiran itulah tertera lembaga, instansi, asosiasi atau pihak lain yang diwajibkan menyampaikan informasi data transaksi nasabah kartu kredit.

Lalu pada tahun yang sama, DPR bersama Pemerintah sepakat mengesahkan UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. UU ini memberikan kesempatan kepada seluruh Wajib Pajak yang selama ini tak disiplin membayar pajak, untuk memperbaiki catatan perpajakan di masa lalu. Lagi-lagi, pro dan kontra muncul dari berbagai kalangan, salah satunya adalah buruh.

Tiga pemohon mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jaelani (Pemohon I); Pengurus Yayasan Satu Keadilan (YSK) (Pemohon II); dan Leni Indrawati Dkk (Pemohon III). Mereka menguji konstitusionalitas beberapa pasal “jantung” dalam UU Pengampunan Pajak. Pada akhirnya, MK memutuskan bahwa UU Pengampunan Pajak konstitusional. Polemik pun mulai mereda.

Di balik pengesahan UU Pengampunan Pajak, isu penyampaian data kartu kredit seakan hilang. PMK tersebut memang sempat berjalan pada Mei 2016, namun Sri Mulyani menyatakan penundaan pelaksanaan PMK 39/2016 tersebut dengan alasan pelaksanaan program pengampunan pajak.

Direktur P2Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa saat launching program pengampunan pajak, Sri Mulyani memutuskan untuk menunda pengumpulan data kartu kredit. Mengapa? Karena pemerintah mencoba memberikan kesempatan kepada masyarakat yang memiliki kartu kredit untuk mengikuti program pengampunan pajak.

“PMK 39 masih berlaku, dan inilah yang akan kami lakukan untuk meminta kepada bank mempersiapkan (data kartu kredit). Penundaan akan segera berakhir karena pengampunan pajak akan selesai. Dan ini tidak menjadi masalah, karena ketika punya kartu kredit dan sudah ikut TA. Ini hanya digunakan untuk profil WP dan akan kami cek ke SPT,” kata Yoga dalam konferensi pers di Kantor Pajak Pusat, Jakarta, Rabu (29/3).

Dirjen Pajak Ken Dwijugeastiadi menegaskan bahwa setelah UU Pengampunan Pajak diundangkan pada 1 Juli 2016 kewajiban penyampaian data kartu kredit tersebut ditunda hingga selesainya periode Amnesti Pajak. Namun demikian, walaupun kesempatan masyarakat mengikuti program Amnesti Pajak berakhir pada 31 Maret 2017, pelaksanaan beberapa ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak, khususnya implementasi pasal 18, baru berlaku setelah program Amnesti Pajak berakhir.

“Oleh karena itu, bersama ini ditegaskan bahwa Ditjen Pajak belum akan meminta data transaksi kartu kredit tetapi akan fokus pada pengumpulan data harta dalam rangka implementasi Pasal 18 UU Pengampunan Pajak,” jelas Ken. (Baca Juga: Ingat! Penegakan Hukum Pasal 18 UU Pengampunan Pajak Pasca Tax Amnesty Berakhir)

Rangkaian kebijakan DJP kemudian berlanjut. Setelah dua kebijakan sektor pajak yang menuai pro dan kontra, DJP meluncurkan platform Kartin1 tepat di hari terakhir program pengampunan pajak. Platform Kartin1 merupakan sarana applet untuk mengintegrasikan identitas-identitas dari kartu-kartu yang selama ini digunakan oleh masyarakat.

Platform ini, lanjut Ken, diharapkan apabila instansi-instansi terkait telah bekerja sama dalam platform Kartin1, dapat memberikan kemudahan bagi Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pelayanan pemerintahan maupun non-pemerintahan dengan kepraktisan menggunakan satu kartu multifungsi. Platform Kartin1 tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu media integrasi data menuju single identity number (SIN) untuk kelancaran berbagai program pemerintah, seperti pemberian bantuan sosial, insentif pajak, dan pembentukan cashless society.

Acara launching ini dihadiri oleh Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Pajak, perwakilan dari BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, Dirjen Imigrasi, Dirjen Dukcapil, Badan Pengkajian dan Pengembangan Teknologi, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Himpunan Bank-Bank Milik Negara, dan Pemprov Jawa Barat. Di dalam acara tersebut didemonstrasikan keberhasilan Ditjen Pajak dalam melakukan prototyping platform Kartin1 dalam produk kartu dari salah satu instansi. (Baca Juga: Di Hadapan Negara G-20, Indonesia Tegaskan Komitmen Ikut AEoI dan Prinsip BEPS)

Dalam acara ini juga dilakukan demonstrasi aktivasi platform Kartin1 yang telah memiliki fitur pengamanan digital certificate dengan terlebih dahulu melakukan validasi data biometrik dari e-KTP, dan pemasukan informasi perpajakan ke dalam produk kartu perbankan. Sebagai fitur pengamanan tambahan, dilakukan perekaman sidik jari dan pembuatan Personal Identification Number (PIN). Penggunaan kartu yang telah ditanamkan platform Kartin1 dapat dilakukan menggunakan reader, yang dilekatkan pada EDC (Electronic Data Capture) maupun NFC (Near Field Communication).

Ken menekankan bahwa prototyping Platform Kartin1 ini merupakan suatu showcase bahwa platform tersebut terbukti dapat dintegrasikan dengan kartu elektronik lainnya. Namun mengenai perkembangan ke depan mengenai lingkup penerapan platform Kartin1 ke jenis kartu ataupun identitas tertentu masih menunggu infrastruktur legal yang berlaku.

Sementara ini, Kementerian Keuangan akan melakukan koordinasi bersama Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan instansi pemerintah lain yang berminat untuk bersama-sama melakukan kajian terkait integrasi data identitas baik perbankan maupun non-perbankan, seperti data kependudukan, NPWP, nomor keanggotaan BPJS.
Tags:

Berita Terkait