Ada Usulan tentang Reassessment Hakim Lima Tahunan
Laporan dari Medan:

Ada Usulan tentang Reassessment Hakim Lima Tahunan

Teknis pelaksanaan assessment bisa dibahas bersama dengan melibatkan kalangan medis dan pemangku kepentingan lain.

MYS
Bacaan 2 Menit
Ada Usulan tentang <i>Reassessment</i> Hakim Lima Tahunan
Hukumonline
Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, M. Busyro Muqoddas, mengusulkan reassessment terhadap hakim-hakim Mahkamah Agung dan hakim–hakim di empat lingkungan peradilan di bawahnya. Reassessment itu dilakukan oleh sebuah tim yang independen dan proper secara periodik lima tahunan.

Gagasan itu disampaikan Busyro saat tampil sebagai pembicara dalam seminar nasional ‘Independensi dan Akuntabilitas Peradilan’ yang berlangsung di Medan, Sumatera Utara, Selasa (25/4). “Lima tahunan hakim-hakim itu harus di-assessment,” ujarnya.

Selama ini seseorang yang telah diangkat menjadi hakim akan terus menjalankan profesinya hingga batas usia pensiun. Reassessment adalah semacam evaluasi  para hakim dengan menggunakan ukuran-ukuran tertentu. Evaluasi bukan hanya kinerja tetapi juga pemeriksaan fisik dan psikis. “Mental, jiwa, kesehatan fisik dan ketajaman, kepekaan memahami hukum dan keadilan,” jelasnya.

Profesi hakim adalah profesi yang disebut sebagai wakil Tuhan sehingga dalam menjalankan profesinya harus benar-benar sehat jasmani dan rohani. Busyro berharap reassessment bisa masuk ke dalam RUU Jabatan Hakim. (Baca juga: Independensi dan Akuntabilitas Peradilan Harus Sama-Sama Diperjuangkan).

Apa yang melatarbelakangi munculnya gagasan reassessment? Kepada Hukumonline, Busyro menjelaskan jabatan hakim itu adalah jabatan yang melekat pada usia dalam rentang waktu yang cukup panjang. Seorang hakim bisa dimulai sejak berusia 30 tahun dan berakhir pada jabatan hakim agung pada usia 70 tahun. Jabatan yang dalam jangka waktu yang panjang itu berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab menegakkan hukum dan keadilan. Ada beragam jenis problem yang dihadapi masyarakat dibawa ke pengadilan dan harus diselesaikan dan diputus oleh hakim.

Sebagian perkara justru sangat pelik sehingga membutuhkan jalan keluar yang tidak  mudah. Harus terus didorong dan dipacu untuk menyelesaikan setiap kasus itu secara adil dan bijak. Sebagai manusia biasa, hakim mungkin saja mengalami penurunan fisik, mental, dan kejiwaan. Bahkan ada hakim yang meninggal saat menjalankan tugas; atau pemeriksaan perkara sering tertunda karena hakim sakit sakit dalam waktu lama. Jika dalam kondisi lelah fisik, mental dan jiwa hakim terus menerus dipaksa untuk memutus perkara, yang rugi bukan hanya para pencari keadilan. “Tetapi juga merugikan pengadilan dan rule of law,” ujar mantan Ketua Komisi Yudisial itu.

Sebenarnya, gagasan evaluasi kinerja sudah pernah muncul dalam diskusi-diskusi mengenai RUU Jabatan Hakim. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Astriyani Ahmad, pernah menyampaikan pandangan bahwa evaluasi kinerja lima tahunan hakim agung berpotensi melanggar independensi peradilan. Sebab, jika evaluasi hakim (agung) berujung pada pemberhentian, maka hakim merasa selalu tidak nyaman dalam memutus perkara terutama menjelang masa evaluasi. Walhasil, independensinya akan terganggu. (Baca juga: Evaluasi Kinerja Hakim Agung Potensial Langgar Independensi).

Busyro mengatakan reassessment dibutuhkan bukan hanya untuk hakim-hakim agung, tetapi juga untuk seluruh lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Jika reassessment tidak dilakukan potensi ‘pembusukan’ kualitas putusan hakim akan semakin besar. Assessment ulang justru untuk memastikan seorang hakim secara fisik, psikis, dan kejiwaan masih bisa memutus suatu perkara dengan adil. Kalau ‘pembusukan’ kualitas putusan hakim dibiarkan, yang paling dirugikan adalah masyarakat.

Jika gagasan itu diterima, kata Busyro, maka pembentuk dan penyusun RUU Jabatan Hakim bisa mengajak psikolog, dokter, Komisi Yudisial dan pemangku kepentingan lain untuk membahas kriteria yang dibutuhkan. Teknisnya akan dibicarakan bersama. Yang paling awal, kata Busyro, memasukkan dulu klausula reassessment itu ke dalam RUU Jabatan Hakim yang kini sedang dibahas DPR dan Pemerintah.

Ketika disinggung kemungkinan gagasannya ditolak kalangan hakim, Busyro justru mengingatkan bahwa gagasan itu untuk kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan negara. “Harusnya diterima. Ini bukan untuk kepentingan tertentu saja, ini buat kepentingan bangsa,” ujarnya. 
Tags:

Berita Terkait