Presiden Jokowi: Bedakan Kebijakan dan Pelaksanaan BLBI
Berita

Presiden Jokowi: Bedakan Kebijakan dan Pelaksanaan BLBI

KPK melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Syafruddin Arsyad Tumenggung.

ANT/ASH
Bacaan 2 Menit
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Jokowi. Foto: RES
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti perbedaan kebijakan yang diambil pemerintah dengan pelaksanaan kebijakan tersebut terkait kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Hal ini sehubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung yang merugikan keuangan negara sebesar Rp3,7 triliun.

“Bedakan paling penting, bedakan mana kebijakan, mana pelaksanaan. Keputusan presiden, peraturan presiden, instruksi presiden adalah kebijakan, itu kebijakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, pelaksanaan itu wilayahnya beda lagi," kata Presiden Jokowi usai membuka Pameran Inacraft 2017 di Jakarta, Rabu (26/4/2017) seperti dikutip Antara.

Pada Selasa (25/4), kemarin, KPK mengumumkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. Baca Juga: Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI VS Klaim Lunas Sjamsul Nursalim

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan saat kepemimpinan Presiden Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. "Tapi, silakan tanyakan detail-nya ke KPK," tambah Presiden.

Dalam kasus ini, Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.

Sehingga hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF.

Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga negara merugi hingga sebesar Rp 138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan secara keseluruhan.

Terkait dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur besar kemudian diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung, tetapi Kejaksaan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN kala itu.

Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah mantan pejabat pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004 Laksamana Sukardi, mantan Kepala BPPN  I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000 s.d. 2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas 2001 s.d. 2004 Kwik Kian Gie.

Dicekal ke luar negeri
Terpisah, KPK melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap Syafruddin Arsyad Tumenggung, tersangka kasus korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun, sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun.

"KPK telah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap tersangka SAT. Informasi yang kami terima pencegahan dilakukan sejak 21 Maret 2017 untuk enam bulan setelah pencegahan itu dilakukan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu.

Febri menjelaskan sejak penyidikan dilakukan dalam kasus tersebut KPK sudah mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga orang saksi.

"Pada 17 April diagendakan pemeriksaan terhadap Rizal Ramli, saat itu saksi tidak hadir dan akan dijadwalkan ulang kemudian pada 20 April diagendakan pemeriksaan saksi Kwik Kian Gie yang bersangkutan datang memberi keterangan, dan pada 25 April diagendakan pemeriksaan saksi Artalyta Suryani tetapi tidak hadir tentu kami akan lakukan pemanggilan kembali," kata Febri.

Lebih lanjut, Febri mengungkapkan dalam proses penyelidikan kasus ini sudah dilakukan permintaan keterangan terhadap 32 orang.

"Jadi 32 orang ini termasuk yang saat ini sudah menjadi tersangka, yaitu Syafruddin Arsyad Tumenggung. Unsur-unsur saksi dari pihak BPPN, dari pihak Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), dari pihak Kementerian Keuangan, pihak Bank Indonesia, dan pihak Sekretaris Negara," ucap Febri.

Febri juga mengatakan mulai pekan depan KPK akan kembali melakukan pemanggilan saksi-saksi termasuk saksi-saksi yang belum hadir pada pemeriksaan 17 April dan 25 April 2017.

Syafruddin selaku ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.

Atas penerbitan SKL itu, diduga ada kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
UU Pemberantasan Tipikor

Pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Tags:

Berita Terkait