Menyaring Permohonan Lewat Klausula Vexatious Request
Edsus Sengketa Informasi:

Menyaring Permohonan Lewat Klausula Vexatious Request

Ada tiga kategori permohonan yang masuk vexatious request. Mahkamah Agung dan Komisi Informasi di daerah sudah mulai menggunakannya.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Menyaring Permohonan Lewat Klausula <i>Vexatious Request</i>
Hukumonline
Badan publik mana yang tidak gundah jika pada waktu bersamaan diminta informasi dalam jumlah banyak dan harus diberikan dalam waktu paling lama 17 hari kerja? Selama tujuh tahun implementasi Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), ada warga negara tertentu atau lembaga swadaya masyarakat tertentu yang mengajukan permohonan informasi ke banyak informasi dalam waktu bersamaan.

Bahkan ada pemohon informasi yang mengajukan sampai ratusan permohonan informasi. Badan publik yang disasar bukan hanya yang ada di sekitar tempat tinggalnya, tetapi juga yang berlokasi jauh. Langkah ini dimungkinkan lantaran permohonan informasi bisa diajukan melalui surat bercap pos atau melalui saluran elektronik.

Model permohonan semacam itu secara normatif tak salah. Tetapi menurut Abdul Rahman Makmun, dalam praktiknya acapkali permohonan semacam itu sulit dijalankan pemohon dalam waktu bersamaan jika timbul sengketa. Misalnya, kata mantan Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) itu, pemohon harus menghadiri sidang sengketa informasi di Komisi Informasi yang berbeda provinsi dalam waktu satu hari. Akibatnya, pemohon harus mengorbankan salah satu sidang sengketa informasi. (Baca juga: Begini Cara Penyelesaian Sengketa Informasi di Pengadilan).

Lambat laun tujuan meminta informasi untuk mengadvokasi masyarakat atau mengembangkan kapasitas pribadi tidak tercapai. Kesungguhan dan keseriusan pemohon untuk meminta informasi dan menggunakan informasi itu dengan baik dipertanyakan. Nyatanya, kondisi itu juga berimbas pada jadwal sidang di Komisi Informasi. Apalagi jika pemohon bertindak di luar kewajaran jika permohonannya tidak dikabulkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) atau petugas Komisi Informasi. (Baca juga: Bahasa Hukum: Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi).

Fenomena pengajuan permohonan dalam jumlah banyak dan terus menerus itulah yang lazim dikenal pegiat keterbukaan informasi sebagai vexatious request. Melihat implikasi yang ditimbulkan vexatious request, sesuai kewenangan yang dimilikinya Komisi Informasi Pusat memperbaiki hukum acara sengketa informasi yang diatur dalam Peraturan Komisi Informasi (Perki) No. 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik.

Sebagai penggantinya lahir Perki No. 1 Tahun 2013 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik (PPSIP). Perki baru ini diterbitkan semasa Komisi Informasi Pusat dipimpin Abdul Rahman Makmun. “Vexatious request diatur dalam Pasal 4,” jelas Aman, begitu Abdul Rahman Makmun, kepada hukumonline.

Perki No. 1 Tahun 2013 menggunakan istilah ‘permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan iktikad baik’. Berdasarkan Pasal 4 Perki yang dimaksud Aman, ada tiga jenis permohonan yang masuk kategori vexatious request.

Pertama, mengajukan permohonan dalam jumlah yang besar sekaligus atau berulang-ulang namun tidak memiliki tujuan yang jelas atau tidak memiliki relevansi dengan tujuan permohonan. Misalnya, Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara pernah mengkategorikan pemohon sebagai pemohon yang tidak bersungguh-sungguh dan beriktikad baik lantaran pemohon bekerja di bisnis kuliner tapi tujuan permintaan informasi adalah untuk pemberitaan. Ketidaksesuaian relevansi profesi pemohon dengan tujuan permohonan dijadikan alasan menolak permohonan penyelesaian sengketa informasi.

Kedua, mengajukan permohonan dengan tujuan  untuk mengganggu proses penyelesaian sengketa. Misalnya, seorang pemohon sudah mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melawan satu badan publik. Pada saat yang bersamaan ia mengajukan lagi permohonan informasi jenis lain ke badan publik yang sama, atau mengajukan sengketa di Komisi Informasi lain sehingga jadwal sidang tumpang tindih.

Ketiga, pemohon pada saat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melakukan pelecehan kepada petugas dengan perlakuan di luar prosedur penyelesaian sengketa. Misalnya, memaki-maki petugas, menyebut petugas tidak kompeten dengan kata-kata yang melecehkan, atau melakukan kekerasan fisik.

Dalam empat tahun terakhir, vexatious request sebenarnya sudah sering dipakai badan publik sebagai argumentasi di sidang-sidang sengketa informasi. Namun penggunaan dalil vexatious request belum banyak digunakan majelis komisioner. Tercatat Komisi Informasi provinsi Sumatera Utara sudah beberapa kali menggunakannya untuk menolak permohonan sengketa pemohon. Alasannya beragam. Selain ketidaksesuaian tujuan penggunaan informasi dengan profesi atau bidang yang digeluti pemohon, ada juga karena pemohon tidak bersungguh-sungguh hadir di persidangan.

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, Mahkamah Agung juga sudah menyetujui argument itu dipakai untuk menolak permohonan kasasi. Majelis hakim agung menggunakan dalil Pasal 4 Perki No. 1 Tahun 2013 ditemukan dalam putusan No. 58 K/PTUN/2017. Majelis hakim agung beranggotakan Yulius, Irfan Fachrudin dan M. Hary Djatmiko menyatakan permohonan pemohon dalam perkara a quo dapat dianggap sebagai permohonan yang tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan iktikad baik.

Majelis hakim agung sependapat dengan majelis Komisi Informasi Provinsi Sumatera Selatan yang menyebut pemohon mengajukan permohonan sampai lebih dari seratus. Sepanjang tahun 2016 saja sebagian besar sengketa di Komisi Informasi diajukan pemohon a quo. Belum lagi puluhan permohonan lain yang belum diputus. Pemohon informasi sebenarnya berusaha menjernihkan persoalan. Benar bahwa pemohon mengajukan permohonan ke badan publik, tapi jumlahnya hanya 59.

Toh, dalil kasasi pemohon informasi itu ditolak majelis. Akhir Januari lalu, majelis kasasi menyatakan menolak permohonan kasasi yang diajukan pemohon.
Tags:

Berita Terkait