Pandangan Mantan Ketua MA Bagir Manan tentang Konsep Shared Responsibility
Utama

Pandangan Mantan Ketua MA Bagir Manan tentang Konsep Shared Responsibility

Independensi kekuasaan kehakiman jadi isu utama. Jabatan hakim agung itu mulia, sehingga tidak pas kalau menggunakan mekanisme lamaran.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Prof. Bagir Manan (kiri) saat menyampaikan pandangan-pandangannya dalam diskusi terbatas di Jakarta, Selasa (20/6). Foto: EDWIN
Prof. Bagir Manan (kiri) saat menyampaikan pandangan-pandangannya dalam diskusi terbatas di Jakarta, Selasa (20/6). Foto: EDWIN
Pembahasan RUU Jabatan Hakim yang tengah berlangsung masih akan diwarnai perdebatan atas sejumlah rancangan pasal. Para pemangku kepentingan berusaha memberikan masukan sesuai perspektif masing-masing. Tinggal bagaimana nanti Pemerintah dan DPR membahas materi RUU Jabatan Hakim tersebut.

Setidaknya ada tiga fokus dalam RUU Jabatan Hakim yang disampaikan Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Suhadi, tidak sesuai dengan harapan para hakim. Pertama, penurunan usia pensiun hakim mulai dari tingkat  pertama hingga hakim agung. Kedua, periodisasi masa jabatan hakim  agung yang akan dievaluasi secara berkala oleh Komisi Yudisial. Ketiga, pembagian kewenangan manajemen hakim termasuk rekrutmennya antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Menanggapi hal ini, Ketua Mahkamah Agung (2001-2008), Bagir Manan, memberikan sejumlah catatan dalam diskusi terbatas di Jakarta, Selasa (20/6). Hadir juga dalam acara itu hakim agung Suhadi yang juga Ketua Ikahi, mantan Ketua KY Eman Suparman serta beberapa akademisi hukum lain. (Baca juga: Akademisi Dukung Konsep Shared Responsibility).

Bagir mengingatkan isu terbesar yang ia tangani selaku tim reformasi kekuasaan kehakiman yang dibentuk Presiden Habibie saat transisi rezim Orde Baru ialah independensi Mahkamah Agung. Pada masa lalu Ketua Mahkamah Agung dianggap pejabat setingkat menteri bahkan pernah terjadi Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden. Belum lagi soal manajemen administrasi kesejahteraan, promosi, dan mutasi hakim yang ditangani Departemen Kehakiman (sekarang Kementerian Hukum dan HAM) di bawah Presiden. (Baca juga: MA Tegaskan Sistem Satu Atap ‘Harga Mati’).

Bagir Manan menguraikan fungsi KY telah secara limitatif dan enumeratif ditentukan dalam konstitusi yaitu untuk ikut menyeleksi calon Hakim Agung dan untuk menjaga martabat Hakim. Dalam dua kewenangan inilah yang secara rechtmatigheid melekat pada KY. Ia mengajukan pertanyaan kritis soal pemahaman shared responsibility dalam seleksi calon hakim jika didasarkan kepada fungsi KY menjaga keluhuran  martabat hakim.

“Apakah calon hakim itu hakim? Itu kan bisa jadi persoalan. Apakah menjaga martabat hakim itu bisa mengakibatkan wewenang lain misalnya ikut serta dalam pendidikan, ikut serta dalam seleksi (calon hakim)?,” ujarnya. (Baca juga: Tigas Fokus KY dalam RUU Jabatan Hakim).

Guru Besar Ilmu Hukum itu mengatakan sepanjang tidak berkaitan dengan teknis peradilan, shared rensposibility dimungkinkan bersama KY. Namun perlu dibatasi masih dalam batasan fungsi KY yang telah ditentukan secara tegas oleh UUD 1945. “Manfaatnya apa sih? Soal kelapangan hati. Jangan juga KY itu kena penyakit yang disinyalir oleh Montesquieu, bahwa setiap orang yang dilekati kekuasaan ingin menambah-nambahi kekuasaan itu kemana saja seenak-enaknya,” lanjutnya. (Baca juga: Pentingnya Konsep Shared Responsibility dalam Rekrutmen Hakim).

Bagir menyampaikan harapan agar batasan-batasan yang telah ditegaskan konstitusi mengenai tugas dan fungsi masing-masing lembaga negara dijaga dengan baik. Meskipun Komisi Yudisial berada dalam bab kekuasaan kehakiman di UUD 1945, secara eksplisit telah diatur mengenai kedudukan dan tugas wewenangnya sebagai lembaga independen yang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menjaga keluhuran martabat hakim.

KY bukanlah bagian dari kekuasaan kehakiman.  Pelaku kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah Mahkamah Agung beserta badan peradilan di bawahnya dan Mahkamah Konstitusi. Dengan adanya pengelolaan satu atap dari kekuasaan kehakiman, termasuk manajemen administrasi sumberdaya, maka seleksi hakim pun seharusnya menjadi kewenangan yang melekat pada Mahkamah Agung.

Untuk hal ini, Bagir mengajak agar pihak yang mengusulkan shared responsibility duduk bersama Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk memperjelas tujuan yang diharapkan. Jika berpegang pada asas doelmatigheid, kesalahpahaman yang masing-masing rasakan saat ini bisa didudukkan untuk mencapai solusi yang tepat. “Mestinya kita tidak perlu ada lagi perdebatan itu. Hal itu bisa diselesaikan kalau kita duduk bersama,” katanya.

Bagir juga menyampaikan harapan agar Hakim Agung dipilih dengan proses pencarian sosok terbaik dan bukannya lamaran terbuka. Ia keberatan jika orang yang ingin menjadi Hakim Agung harus melamar untuk diproses dalam tahapan oleh KY dan DPR. “Saya nggak ngerti mengapa harus sistem melamar. (Hakim Agung)  itu jabatan mulia, harus dicari,” ungkapnya.

Selama masa kepemimpinannya, Bagir mengatakan bahwa semua calon Hakim Agung diminta secara khusus oleh Mahkamah Agung untuk mengikuti seleksi. Ia menghubungi berbagai universitas setelah menelusuri rekam jejak sosok-sosok akademisi yang kompeten, disamping mencari hakim karir yang berprestasi dari Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia. Ia mencontohkan bahwa di Belanda yang menjadi patron awal peradilan Indonesia seluruh calon Hakim Agung dicari oleh Mahkamah Agung, parlemen, dan Pemerintahnya. “Ini proses kemuliaan, Mahkamah Agung atau Pemerintah harus bertanggung jawab sejak awal atas orang-orang yang direkrut,” tambahnya.

Bagir juga menyampaikan keberatannya soal evaluasi berkala Hakim Agung dalam masa jabatannya. Ia menilai hal ini akan membuat publik tidak akan pernah percaya penuh pada para Hakim Agung dan lembaga Mahkamah Agung. Sebaiknya sejak awal ditentukan masa jabatannya apakah seumur hidup atau dalam bilangan tahun tertentu. Hal ini juga berkaitan untuk menjaga independensi kekuasaan kehakiman agar tidak  dibayangi dengan intervensi politisasi dan birokratisasi.

Adapun keinginan untuk menjaga kualitas Hakim Agung, ia mengingatkan bahwa harus dipahami bahwa Hakim tidak selalu benar. Akan tetapi, konsekuensi dari hidup dengan berdasarkan hukum adalah dengan menghormati lembaga pelakasana kekuasaan kehakiman. Independensi Hakim harus dijaga mulai dari bebas dari intervensi politik, jaminan kesejahteraan, dan dihormati putusannya dalam menjalankan tugas. “Menghormati putusan Hakim, tidak sama dengan putusan Hakim itu  (pasti) benar,” tegasnya.

Adapun mengenai usia pensiun Hakim yang diturunkan, mantan Ketua KY, Eman Suparman, menduga ada kepentingan Pemerintah untuk mengurangi pengeluaran anggaran untuk gaji hakim. “Saya menduga Pemerintah yang berkepentingan karena Pemerintah tidak punya uang untuk manggaji hakim terlalu lama. KY tidak berkepentingan untuk menurunkan usia pensiun hakim dari tingkat pertama sampai Hakim Agung,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait