Kemenaker Soroti Kasus PHK Massal di Media
Berita

Kemenaker Soroti Kasus PHK Massal di Media

Buruh mengadukan masalah PHK sepihak, status ketenagakerjaan dan jaminan sosial.

Ady TD Achmad
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): BAS
Ilustrasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK): BAS
Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu menghantui karyawan di media cetak karena perubahan arah menjadi media daring. Beberapa produk penerbitan media cetak mulai tutup. Salah satu yang kini mendapat sorotan Kementerian Ketenagakerjaan adalah PHK yang menimpa pekerja di bawah anak usaha MNC Group.

Perhatian Kementerian itu disampaikan langsung Direktur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Kementerian Ketenagakerjaan, John W Daniel Saragih, saat digelar pertemuan para pemangku kepentingan di Jakarta, Rabu (05/7). John menjelaskan Kementerian mengundang perwakilan manajemen anak perusahaan MNC Group seperti PT Media Nusantara Informasi (MNI) dan PT MNI Global (MNIG) serta perwakilan buruh untuk memaparkan persoalan yang terjadi. (Baca juga: Kemenaker Verifikasi PHK Massal, Begini Hasilnya).

Namun, sampai pertemuan itu digelar di Kementerian Ketenagakerjaan pada Rabu (5/07), tidak ada satu pun pihak manajemen yang hadir. Pertemuan itu hanya dihadiri pihak buruh didampingi sejumlah organisasi diantaranya LBH Pers, AJI Indonesia, dan Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen.

Merujuk paparan buruh dalam pertemuan itu John mengatakan pada intinya perusahaan tidak transparan dalam menjelaskan kondisi perusahaan. Buruh, kata John menuding PHK yang dilakukan perusahaan tidak sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Penelusuran hukumonline, kentuan mengenai PHK terdapat dalam Bab XII UU Ketenagakerjaan mulai dari Pasal 150 sampai Pasal 172.

“Pada pertemuan hari ini pihak perusahaan tidak hadir, kami akan undang lagi mereka untuk hadir pada Senin (10/07) di Kementerian Ketenagakerjaan,” katanya kepada wartawan usai audiensi dengan buruh.

John berharap tidak terjadi PHK sebagaimana prinsip dasar UU Ketenagakerjaan. Sekalipun itu tidak bisa dihindari maka harus dijalankan sebagaimana hukum ketenagakerjaan yang berlaku. Dia berjanji akan menangani kasus ini dengan baik agar ke depan persoalan serupa tidak terjadi lagi menimpa perusahaan media yang lain. (Baca juga: BKPM Cegah PHK di 33 Perusahaan Ini).

Ketua Umum FSPM Independen, Sasmito Madrim, mencatat jumlah buruh MNC Group yang mengalami PHK mencapai 300 orang. Sebagian bekerja di PT MNI (Koran Sindo), PT MNIG (Tabloid Genie dan Moms and Kiddie) dan PT Media Nusantara Citra Mas (MNC Channel). “Selain mengalami PHK sepihak, pesangon yang ditawarkan perusahaan jauh di bawah ketentuan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Kepala Divisi Riset LBH Pers, Asep Komarudin, melihat PHK massal yang dialami buruh MNC Group ini termasuk yang paling banyak jumlahnya dibandingkan kasus PHK di perusahaan media lain beberapa tahun terakhir. Walau begitu masalah yang dihadapi buruh MNC Group mirip seperti yang dialami buruh yang bekerja di perusahaan media pada umumnya seperti status ketenagakerjaan yang tidak jelas dan tidak mendapat pesangon ketika mengalami PHK.

Ada juga perusahaan media yang mengaburkan adanya hubungan kerja dengan cara tidak menggunakan perjanjian kerja tapi perdata yakni melalui perjanjian penyedia jasa berita. Perjanjian itu mengesankan tidak ada hubungan kerja tapi kemitraan, padahal buruh yang bersangkutan dituntut untuk menjalankan kewajiban untuk mengirim karya jurnalistiknya. “Akibatnya perlindungan buruh lemah, dia tidak mendapat jaminan sosial, kontrak berulang-ulang lebih dari 5 tahun,” urainya.

Perwakilan buruh PT MNIG yang mengalami PHK, Gilbert, mengaku dirinya sudah bekerja selama 12 tahun sebagai jurnalis di tabloid Gennie dengan status tetap. Sebelum libur lebaran 2017 Direktur Utama PT MNIG mengabarkan per 1 Juli 2017 perusahaan berhenti operasional dan seluruh karyawan dirumahkan. Kemudian, manajemen menawarkan sejumlah kompensasi yang dinilai lebih rendah daripada ketentuan UU Ketenagakerjaan. “Kompensasi yang ditawarkan sangat minim, padahal masa kerja kami paling rendah 5 tahun,” paparnya.

Menurut Gilbert nasib serupa juga dialami buruh lainnya yang bekerja pada anak perusahaan MNC Group seperti PT MNI. Pada intinya manajemen tidak mau membayar pesangon sesuai ketentuan, hanya sekedar kompensasi. Selain masalah PHK sepihak, Gilbert melihat ada persoalan lain yang dialami para buruh diantaranya status ketenagakerjaan dan jaminan sosial (BPJS).

Sampai berita ini dibuat pihak manajemen MNC Group belum dapat dihubungi. Upaya menghubungi Direktur Utama PT MNIG dan PT MNI, Sururi Alfaruq, melalui telepon dan pesan singkat tidak membuahkan hasil.
Tags:

Berita Terkait