Gubernur Sultra Ditahan, Pengacara Permasalahkan Kerugian Negara
Berita

Gubernur Sultra Ditahan, Pengacara Permasalahkan Kerugian Negara

Pengacara Gubernur Sultra menganggap tidak ada pihak yang dirugikan.

Novrieza Rahmi
Bacaan 2 Menit
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengenakan rompi tahanan seusai diperiksa penyidik KPK Jakarta, Rabu (5/7). Foto: RES
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam mengenakan rompi tahanan seusai diperiksa penyidik KPK Jakarta, Rabu (5/7). Foto: RES
Usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka untuk kedua kalinya, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, Nur Alam ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas I Jakarta Timur cabang KPK yang berlokasi di Pomdam Jaya Guntur.

"KPK melakukan penahanan terhadap tersangka NA untuk 20 hari ke depan, terhitung mulai hari ini. Penahanan dilakukan dalam proses penyidikan setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur di Pasal 21 KUHAP, yaitu diduga keras melakukan tindak pidana dan memenuhi alasan objektif atau subjektif," katanya di KPK, Rabu (5/7/2017).

Nur Alam ke luar dari gedung KPK dengan mengenakan rompi tahanan berwarna oranye. Ia tak mengeluarkan sepatah kata pundan hanya berjalan cepat menuju mobil tahanan. Terlihat sejumlah pendukung menangis tersedu mengiringi penahanan Nur Alam. Namun, apa mau dikata, penahanan merupakan kewenangan KPK.

Pengacara Nur Alam, Ahmad Rivai mengatakan, penyidik tentu memiliki pertimbangan subjektif ketika melakukan penahanan terhadap kliennya. "Kita tidak bisa mengatakan itu sesuai atau tidak. Yang jelas, kewenangan subjektif ini yang telah dipakai oleh KPK dalam melakukan penahanan 20 hari ke depan," ujarnya.

Menurutnya, dalam pemeriksaan, penyidik sempat menyodorkan beberapa pertanyaan terkait investasi di kawasan tambang Sultra kepada Nur Alam. Salah satunya, apakah Nur Alam memperoleh keuntungan pribadi dari investasi tersebut. Kepada penyidik, Nur Alam memberikan klarifikasi dan membantah mendapat keuntungan pribadi.

"Beliau tidak ada mengambil keuntungan dari proses itu semua. Mereka investasi. Untuk keseriusan mereka, oke, kalau Anda mau investasi serius mana buktinya? Kemudian mereka membuktikan kalau mereka serius, tapi setelah sekian lama ternyata dia tidak dapat menunjukkan keseriusannya. Uang itu dikembalikan (ke investor)," terangnya.

Lantas, uang apa yang dimaksud Rivai? Sebagaimana diketahui, pada 2013, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan transaksi mencurigakan dalam rekening Nur Alam. Temuan PPATK itu sempat diselidiki Kejaksaan Agung (Kejagung), tetapi tidak ditingkatkan ke penyidikan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti.

Padahal, berdasarkan laporan PPATK, Gubernur Sultra periode 2013-2018 ini diduga menerima aliran uang sebesar AS$4,5 juta atau setara Rp50 miliar dari perusahaan yang berkedudukan di Hongkong, Richcorp Internasional Limited. Uang itu dikirim ke bank di Hongkong dan sebagian diantaranya ditempatkan pada polis AXA Mandiri.

Kaitan Richcorp dengan kasus Nur Alam sendiri terletak pada PT Billy Indonesia. Richcorp, melalui Realluck International Ltd, perusahaan yang 50 persen sahamnya dimiliki Richcorp, merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia. Sementara, PT Billy Indonesia terafiliasi dengan PT Anugrah Harisma Barakah (AHB).

Pada 2011, investor asal Cina, salah satunya PT Billy International yang diwakili PT Billy Indonesia menandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan pemerintah daerah untuk membangun kawasan industri peleburan nikel di dua kabupaten di Sultra, Konawe Utara dan Bombana. PT Billy pun melakukan pembangunan industri nikel di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana.

Berdasarkan Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia yang dilansir Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2012-2013, PT AHB yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh PT Billy International, mendapatkan kontrak Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk jangka waktu 20 September 2010-25 Juli 2030.

Dalam kasus ini, Nur Alam selama periode 2009-2014 diduga telah melakukan korupsi dalam penerbitan Surat Keputusan (SK) Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, Persetujuan IUP Eksplorasi, Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT AHB selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sultra.

Dari penerbitan sejumlah izin pertambangan PT AHB tersebut, Nur Alam diduga mendapatkan imbal jasa (kick back) yang cukup besar. Aliran uang AS$4,5 juta dari Richcorp Internasional Limited itulah yang diduga sebagai kick back yang diterima Nur Alam. Baca Juga: PN Jaksel Tolak Praperadilan Nur Alam

Nur Alam diduga melakukan perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangannya dengan memperkaya/menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi, sehingga merugikan keuangan negara. Atas perbuatannya, Nur Alam disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  

Penghitungan kerugian negara?
Tak hanya mempertanyakan dugaan keuntungan pribadi yang dinikmati Nur Alam, Rivai juga mempermasalahkan ketiadaan penghitungan kerugian negara dalam kasus kliennya. Ia berpendapat, ketika seseorang disangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor, harus ada bukti mengenai kerugian negara terlebih dahulu.

Sebelumnya, KPK memang sempat menggunakan penghitungan sementara yang dilakukan oleh ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) sembari menunggu hasil penghitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hal ini terungkap saat sidang praperadilan Nur Alam di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Oktober 2016 lalu. 

Kala itu, Kepala Biro Hukum KPK Setiadi mengatakan, ahli dari IPB melakukan penghitungan nilai kerugian dari dampak lingkungan yang diakibatkan dari sejumlah izin pertambangan yang diterbitkan Nur Alam. Berdasarkan hasil penghitungan ahli dari IPB tersebut, jumlah potensi kerugian sementara sebesar Rp3,359 triliun.

Nah, penghitungan inilah yang dipertanyakan Rivai. Menurutnya, lembaga yang dapat menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). "Apakah selama ini sudah ada hal (penghitungan kerugian negara BPK) tersebut. itu satu yang harus dijawab," ucapnya.

Rivai merasa tidak ada pihak yang dirugikan dalam kasus Nur Alam. Sebab, selain tidak ada uang negara yang diambil, Nur Alam juga sudah mengembalikan uang kepada investor. Dengan kata lain, Nur Alam sama sekali tidak mengambil satu sen pun keuntungan, baik dari investor maupun keuangan negara.

Sementara, Febri menegaskan, KPK tidak asal melakukan tindakan hukum terhadap Nur Alam. "KPK, tentu melakukan tindakan hukum dalam proses penyidikan ini berdasarkan bukti-bukti yang cukup (termasuk soal penghitungan kerugian negara)," tuturnya.

Untuk diketahui, penghitungan kerugian negara kerap menjadi polemik dalam penanganan kasus korupsi. Permasalahan yang sering muncul adalah lembaga mana yang sebenarnya paling berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian negara. Mahkamah Agung (MA) pun menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) No.4 Tahun 2016. Baca Juga: Siapa Berwenang Menyatakan Kerugian Negara SEMA Pun Tak Mengikat  

SEMA itu mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu poin rumusan kamar pidana menyatakan, hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara.
SEMA No.4 Tahun 2016
A. Rumusan Hukum Kamar Pidana
 6. Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional, sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara. Namun, tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan negara. Dalam hal tertentu, hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian negara dan besarnya kerugian negara.

Faktanya, selama ini penuntut umum tidak hanya menggunakan hasil penghitungan kerugian keuangan negara dari BPK, melainkan juga dari BPKP untuk membuktikan unsur kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi. Dan, sudah berkali-kali pula hakim mengakui penghitungan kerugian keuangan dari BPKP tersebut.

Bahkan, dalam putusan sela majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili perkara mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, pada 21 September 2015, menegaskan BPK bukan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan audit penghitungan kerugian negara dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi.

Penghitungan kerugian negara juga dapat dilakukan oleh ahli lainnya, seperti akuntan publik dan BPKP atas permintaan dari penyidik. Apabila penyidik dan penuntut umum memiliki kemampuan untuk melakukan penghitungan, majelis berpendapat, mereka juga dapat menghitung sendiri kerugian negara akibat perbuatan korupsi.

Jauh sebelum putusan sela itu, mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Eddie Widiono Suwondho yang dahulu merupakan terdakwa kasus korupsi pengadaan outsourcing roll out Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Disjaya pada 2012 pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Eddie mempermasalahkan penghitungan kerugian negara BPKP yang digunakan KPK untuk mendukung pembuktian kerugian negara dalam kasusnya. Sebagai pintu masuk, Eddie menguji Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya yang menyatakan KPK memiliki tugas berkoordinasi dengan instansi berwenang, salah satunya BPKP.

Eddie merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar akibat penerapan Pasal 6 UU KPK dan penjelasannya. Sebab, alih-alih meminta penghitungan kerugian negara kepada BPK selaku lembaga yang diberi kewenangan konstitusional menghitung kerugian negara terlebih dahulu, KPK malah meminta penghitungan dari BPKP.

Namun, permohonan uji materi Eddie ditolak oleh majelis hakim MK yang diketuai Mahfud MD. MK menegaskan, kewenangan BPKP dan BPK masing-masing telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Terlebih, KPK bukan hanya dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian tindak pidana korupsi.

KPK dapat pula berkoordinasi dengan instansi lain, serta bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK. Misalnya, dengan mengundang ahli, meminta bahan dari Inspektorat Jenderal, atau badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi pemerintah.

“Bahkan, dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan) yang dapat menunjukan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya,” demikian pertimbangan majelis MK dalam putusan Nomor 31/PUU-X/2012. 
Tags:

Berita Terkait