ICW Temukan Banyak Kecurangan JKN di Rumah Sakit
Berita

ICW Temukan Banyak Kecurangan JKN di Rumah Sakit

Penegakan Peraturan Menteri Kesehatan mengenai pencegahan fraud masih harus diperkuat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi layanan kesehatan di faskes. Ilustrator: BAS
Ilustrasi layanan kesehatan di faskes. Ilustrator: BAS
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS Kesehatan sudah berjalan hampir tiga tahun. Walau program itu membuka akses yang luas bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan,  pelaksanaannya masih banyak catatan buruk. Setidaknya bisa terlihat dari hasil penelitian Indonesia Corruption Watch yang dilansir di Jakarta, Kamis (14/9) kemarin.

Pada periode Maret-Agustus 2017 ICW melakukan pemantauan pelaksanaan JKN di 15 daerah antara lain di Aceh, Sumatera Utara, Jakarta, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Koordinator Divisi Kampanye ICW, Siti Juliantari Rachman, mengatakan pemantauan itu dilakukan karena pelayanan kesehatan merupakan hak warga negara yang perlu dijamin.

Sedikitnya ada 3 hal yang dipantau ICW. Pertama, mutu layanan dalam program JKN belum optimal. Kedua, ada potensi kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan JKN. Ketiga, terjadi perubahan tren korupsi di sektor kesehatan dari sebelumnya paling banyak menyasar pengadaan alat kesehatan dan obat tapi sekarang dana JKN.

Perempuan yang disapa Tari itu melihat Pemerintah sudah memprediksi potensi kecurangan dalam pelaksanaan JKN. Itu sebabnya Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional. Regulasi ini pula yang digunakan ICW sebagai acuan untuk menilai temuan mereka di belasan daerah tersebut.

(Baca juga: Temuan Kartu JKN-KIS di Pinggir Sungai Dibawa ke Jalur Hukum).

ICW bersama jaringannya di berbagai daerah melakukan pemantauan di 60 fasilitas kesehatan (faskes), terdiri dari 19 RS pemerintah, 15 RS swasta, dan 26 Puskesmas. Hasilnya, ditemukan ada 49 kecurangan, dari jumlah itu 10 dilakukan oleh peserta JKN, 2 penyedia obat, 1 petugas BPJS Kesehatan, 13 Faskes Tingkat Pertama (Puskesmas), dan 23 Faskes Tingkat Lanjut (RS).

Tari menyebut ICW mengalami hambatan melakukan pemantauan karena sulit mengakses informasi di RS dan BPJS Kesehatan daerah. Misalnya, berapa jumlah klaim yang diajukan RS kepada BPJS Kesehatan. Informasi ini cenderung ditutup padahal sangat penting untuk diawasi. Apalagi jika terjadi kecurangan, kerugiannya bakal lebih besar ketimbang potensi kecurangan di sektor lain.

(Baca juga: Ingat! Pasien Berhak Peroleh Informasi Utuh Harga Obat).

“Kami berpendapat jika terjadi kecurangan dalam hal klaim yang diajukan RS, maka nilai kerugiannya lebih besar daripada yang lain. BPK juga sudah menyatakan proses verifikasi klaim ini belum berjalan optimal,” kata Tari dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (14/9).

Kecurangan yang terjadi di RS meliputi penulisan kode diagnosis yang berlebihan (upcoding), klaim palsu (phantom billing), penggelembungan tagihan obat dan alat kesehatan, dan rujukan semu. Ada juga RS yang memanipulasi kelas perawatan peserta JKN, melakukan tindakan yang tidak perlu, dan penyimpangan terhadap standar pelayanan.

Pemantauan terhadap RS di beberapa daerah menunjukkan ada peserta yang ditagih biaya dengan alasan pembelian obat dan penggunaan alat medis. Ada juga pembatasan rawat inap bagi peserta JKN maksimal 5 hari, jika lebih dari itu peserta dipungut biaya.

Peneliti ICW, Almas Sjafrina, mengatakan Permenkes Pencegahan Fraud mengamanatkan faskes tingkat pertama, tingkat lanjut, dan BPJS Kesehatan membentuk tim Pencegahan Fraud. Sayangnya, amanat Permenkes itu belum berjalan optimal, penerapannya masih minim. ICW memantau belum banyak daerah yang membentuk tim pencegahan Fraud. Sekalipun tim itu telah dibentuk, kerja-kerja yang dilakukan tidak diketahui secara jelas.

“Tidak efektifnya kerja tim pencegahan itu karena beragam alasan seperti soal anggaran,  dan pembentukan tim baru sebatas Surat Keputusan (SK). Selain itu tidak ada monitoring dan evaluasi dari pihak yang membentuk tim pencegahan fraud,” urai Almas.

Lewat hasil pemantauan itu ICW merekomendasikan BPJS Kesehatan meningkatkan sosialisasi kepada semua pihak mengenai hak dan kewajiban peserta JKN. Kementerian kesehatan, dinas kesehatan, dan BPJS Kesehatan harus meningkatkan sosialisasi mengenai fraud kepada seluruh pemangku kepentingan sehingga masyarakat bisa mengetahui tindakan apa saja yang masuk kategori kecurangan. Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan dan fasilitas kesehatan perlu melakukan perbaikan sistem pengelolaan dan perencanaan kebutuhan obat (RKO). Jumlah obat yang tersedia harus sesuai dengan kebutuhan.

(Baca juga: Kendalikan Defisit JKN, Pemerintah Perbaiki Regulasi).

ICW juga merekomendasikan BPJS Kesehatan untuk menempatkan petugasnya di RS selama 24 jam. Tim pencegahan fraud sebagaimana amanat Permenkes Pencegahan Fraud harus dijalankan secara serius. Akses masyarakat terhadap informasi setiap tahap layanan JKN harus terbuka, termasuk soal klaim. ICW yakin pelayanan publik akan berjalan baik kalau pelaksanaannya transparan dan akuntabel. Terakhir, ICW menyarankan pemerintah untuk menerapkan sistem reward and punishment bagi penyelenggara dan pemberi layanan JKN.
Tags:

Berita Terkait