Cerita Erna Ratnaningsih tentang Advokasi dan Peran Perempuan di Dunia Hukum
Srikandi Hukum 2018

Cerita Erna Ratnaningsih tentang Advokasi dan Peran Perempuan di Dunia Hukum

Setelah 14 tahun berkarir di Lembaga Bantuan Hukum, Erna menapaki karir di Komisi Kejaksaan. Ingin terus berkontribusi dalam pengambilan kebijakan publik.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Erna Ratnaningsih
Erna Ratnaningsih

Janji bertemu dengan ibu dua anak itu terwujud menjelang siang, pertengahan April lalu. Kami bertemu di kantornya, Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, di kawasan Jakarta Selatan. Ruang kerjanya tampak sederhana: kursi tamu, meja kerja, dan papan tulis berisi jadwal kegiatan. “Kantor ini adalah bekas rumah dinas Kepala Kejaksaan Tinggi,” sang tuan rumah memulai pembicaraan saat kami memasuki ruangannya.

 

Tuan rumah perbincangan itu adalah Erna Ratnaningsih. Perempuan kelahiran 14 Agustus ini tercatat sebagai Wakil Ketua Komisi Kejaksaan. Presiden Joko Widodo melantik Erna bersama delapan anggota Komisi Kejaksaan (2015-2020) lainnya di Istana Negara, 6 Agustus 2015. Dua di antara komisioner yang dilantik adalah perempuan. Selain Erna, ada Yuni Arta Manalu.

 

Berkiprah selama lebih kurang 14 tahun di lingkungan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), awalnya tak terbersit cita-cita atau keinginan Erna untuk masuk ke Komisi Kejaksaan. Prinsipnya sederhana, ia ingin berkiprah di dunia hukum yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Prinsip itulah yang terus diperjuangkan di LBH, meskipun pengurusnya terus berganti. Prinsip itu masih dipegang Erna begitu memutuskan keluar dari LBH melalui jalan yang semakin dekat ke pengambilan keputusan.

 

Semula berniat memasuki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, nasib menentukan lain. Sejak 2015, Erna berkantor di jalan Rambai Jakarta Selatan. Masuk ke Komisi ini tak ubahnya seperti jalan yang makin dekat dengan keinginan Erna untuk bisa berperan dalam pengambilan kebijakan. Dunia yang agak berbeda dari LBH. Di LBH, kebebasan berpendapat dan menyampaikan gagasan begitu dijunjung tinggi. Termasuk mengajukan kritik. Di Komisi Kejaksaan, ritmenya menjadi lain karena setiap komisioner harus taat pada kode etik dan perilaku. Ada rambu-rambu yang harus ditaati. Saat menerima laporan dari masyarakat misalnya, komisioner harus memahami rambu tidak boleh mengintervensi hal-hal teknis yang menjadi tugas jaksa.

 

Toh, Erna tetap menikmati tugasnya di Komisi Kejaksaan. Pengalamannya di dunia hukum semakin berwarna. Bahkan ada semacam estafet pada masalah-masalah yang perlu diadvokasi. Misalnya, bagaimana membangun perspektif jaksa-jaksa dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Selama belasan tahun di LBH, Erna banyak bersinggungan dengan masalah ini: menumbuhkan sensitivitas dan empati pada korban kekerasan dalam rumah tangga, misalnya. Atau, pada kasus perempuan yang menjadi korban kejahatan lalu menjadi ‘korban’ lagi karena stigmatisasi. Di Komisi Kejaksaan, Erna bisa berkomunikasi dengan para pengambil kebijakan, atau terkadang berhadapan langsung dengan jaksa-jaksa yang menangani kasus sejenis.

 

Jadi, ada upaya meneruskan advokasi terhadap masalah-masalah hukum yang menimpa perempuan. Di Komisi Kejaksaan atau di LBH, ada semangat yang sama untuk membawa penegakan hukum pada rel yang benar dengan cara mendengar korban, melakukan investigasi, mengawasi penyimpangan, dan menyuarakan upaya koreksi terhadap pelanggaran. “Prinsipnya sama, mencari kebenaran dan keadilan,” begitulah Erna menggambarkan estafet advokasi itu.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait