Inilah Tantangan Sektor Perpajakan Indonesia yang Patut Dicermati
Berita

Inilah Tantangan Sektor Perpajakan Indonesia yang Patut Dicermati

DJP sudah membentuk empat program untuk mengoptimalkan penerimaan pajak di Tahun 2018.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Program amnesti pajak tahap II sudah berakhir. Kini masuk tahap III. Foto: RES
Program amnesti pajak tahap II sudah berakhir. Kini masuk tahap III. Foto: RES

Di era pemerintahan Joko Widodo, pembangunan infrastruktur menjadi fokus pemerintah. Tak pelak, anggaran belanja negara meningkat drastis, sebab kenaikan jumlah pengeluaran membutuhkan kenaikan pendapatan negara. Penerimaan perpajakan adalah tumpuan utama. Maka, optimalisasi penerimaan perpajakan menjadi hal yang penting dan strategis untuk dilakukan.

 

Pemerintah telah berupaya melakukan optimalisasi melalui berbagai kebijakan, program, dan strategi. Pada tahun 2015 dicanangkan sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak (reinventing policy) sebagai bentuk pengampunan terbatas. Pada tahun 2016, Pemerintah mengimplementasikan program amnesti pajak. Dari program ini berhasil diperoleh deklarasi harta sebanyak  Rp4.865,7 triliun,  dan mendulang setidaknya Rp134,8 triliun bagi pundi-pundi negara mealui uang tebusan yang dibayarkan, dan Rp147,1 triliun komitmen repatriasi harta dari luar negeri. Kebijakan lain adalah revaluasi aktiva tetap, kenaikan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dan terakhir perbaikan kebijakan tax holiday.

 

Meski demikian, kebijakan dan program itu belum signifikan mendongkrak penerimaan negara dari sektor pajak karena kondisi perekonomian nasional sedang menuju pemulihan. Seiring berakhirnya program, amnesti pajak, Pemerintah dan DPR menyepakati Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi Undang-Undang. Gerbong reformasi bergerak maju, terutama pasca pergantian Dirjen Pajak. Kini baik Ditjen Pajak maupun Ditjen Bea dan Cukai lebih erat bersinergi di bawah program Reformasi Perpajakan. Berbagai perbaikan regulasi, koordinasi, dan pelayanan terus dilakukan, seperti penertiban importir berisiko tinggi, integrasi pelayanan, perbaikan prosedur dan kualitas audit, dan percepatan restitusi.

 

Meski belum sepenuhnya ideal dan sempurna, apa yang dilakukan mulai menuai hasil. Tahun 2017 Ditjen Pajak berhasil mencapai realisasi penerimaan sebesar 89,4% dari target dengan nominal Rp1151,1 triliun. Bahkan Ditjen Bea dan Cukai berhasil melampaui target yang ditetapkan, yaitu mencapai Rp192,5 triliun yang terdiri dari penerimaan cukai, bea masuk dan bea keluar. Tren membaik ini diperkirakan berlanjut pada tahun 2018, seperti tercermin dari peningkatan penerimaan di hampir semua jenis pajak dibandingkan penerimaan tahun 2017.

 

Namun, menurut Yustinus, Pemerintah tetap harus mewaspadai dinamika perekonomian global dan nasional. “Tetap diperlukan upaya yang lebih keras, cerdas, dan fokus untuk menjaga momentum perbaikan ini. Di tengah situasi perekonomian yang menuju fase pemulihan, kebijakan yang lebih moderat merupakan pilihan yang lebih baik. Pilihan kita adalah penerimaan atau pertumbuhan dan multiplier effect,” ujarnya dalam sebuah acara di Jakarta, Senin (14/5).

 

Pada triwulan-I 2018, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 9,94% meski di tengah perekonomian yang masih belum stabil dan masih dalam tahap pemulihan. Data triwulan-I 2018 menunjukkan penerimaan pajak mencapai Rp333,77 triliun, setara dengan 17,17 persen dari target yang telah ditetapkan, yakni sebesar Rp1894,72 triliun. Lalu, penerimaan kepabeanan dan cukai baru mencapai 5,18% dari target yang telah ditetapkan pada 2018.

 

(Baca juga: Terbit, Inpres Peningkatan Pengawasan Penerimaan Pajak atas Belanja Pemerintah dan PNBP)

 

Atas catatan tersebut, Pengamat Perpajakan Yustinus Prastowo menyampaikan delapan catatan terkait kondisi perpajakan di Indonesia saat ini, yang harus menjadi perhatian bagi pemerintah.

Tags:

Berita Terkait