Importir Minta Permenkeu Bea Masuk Barang Impor Direvisi, Ini Alasannya!
Berita

Importir Minta Permenkeu Bea Masuk Barang Impor Direvisi, Ini Alasannya!

Ada kebijakan yang penerapannya sulit dilakukan para importir. Kerugian yang ditanggung bisa mencapai miliaran rupiah.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Acara Dialog
Acara Dialog "PMK 229/2017, Antara Mencegah Kecurangan Importir dan Birokrasi Biaya Tinggi" di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (6/6). Foto: MJR

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan kebijakan tarif khusus bea masuk barang impor dari negara-negara yang memiliki kerja sama internasional dengan Indonesia. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 229 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian Atau Kesepakatan Internasional yang berlaku sejak akhir Desember 2017 lalu.

 

Namun belum lama berjalannya aturan tersebut, terdapat kritikan dari importir yang keberatan mengenai singkatnya batas waktu penyerahan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin pada pemeriksaan barang di jalur kuning (risiko menengah) dan merah (risiko tinggi). Pasalnya, dalam aturan tersebut batas waktu penyerahan SKA kedua jalur tersebut hanya satu hari atau berlaku hingga pukul 12.00 WIB hari berikutnya sejak pemberitahuan impor barang (PIB) mendapat penetapan jalur.

 

“Batas waktu ini terlalu singkat untuk barang yang melalui jalur merah dan harus diperiksa fisik oleh petugas pabean. Apabila melewati batas waktu tersebut, SKA dianggap tidak berlaku lagi. Padahal, SKA berlaku satu tahun berdasarkan kesepakatan perdagangan internasional,” kata Sekretaris Umum Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) DKI Jakarta, Adil Karim dalam acara “PMK 229, Antara Mencegah Kecurangan Importir dan Birokrasi Biaya Tinggi” di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (6/6/2018). Baca Juga: Wajib Tahu! Batas Bea Masuk Barang Pribadi Penumpang Naik Dua Kali Lipat

 

Adil menilai waktu satu hari dinilai tidak cukup karena pemeriksaan barang tersebut memerlukan waktu lama. Akibatnya, importir terpaksa harus membayar bea masuk normal yang nilainya jauh lebih tinggi. Selain itu, importir dikenakan biaya nota pembetulan (notul) dari perbaikan prosedur barang impor. “Kerugian yang ditanggung perusahaan bisa mencapai miliaran rupiah,” sebutnya.

 

Dalam kesempatan yang sama, kritikan juga disampaikan Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Firman Bakri. Firman mengatakan industri alas kaki nasional, yang bahan bakunya sebesar 60 persen barang impor menjadi salah satu industri yang merasakan dampak dari kebijakan tersebut.

 

Terlebih lagi, kata Firman, para pelaku usaha industri ini merupakan usaha berskala kecil dan menengah. “Industri skala kecil dan menengah yang paling merasakan dampak karena tidak bisa mendapatkan tarif prefensi (khusus),” kata Firman.

 

Firman juga mengeluhkan tidak adanya dialog antara pemerintah dengan pelaku usaha dalam penyusunan regulasi tersebut. Untuk itu, dia meminta pemerintah nantinya perlu berdialog dengan pelaku usaha dalam revisi Permenkeu tersebut. Sehingga, para pihak terkait dapat memanfaatkan tarif prefensi berdasarkan aturan internasional.

Tags:

Berita Terkait