Batubara, salah satu komoditas ekspor terbesar nasional saat ini. Tak hanya dari sisi volume, batubara melalui kegiatan ekspornya juga merupakan salah satu penyumbang devisa tertinggi setelah sawit, pariwisata, tekstil, dan minyak dan gas bumi (migas). Sayangnya, maraknya ekspor batubara ilegal yang kerap dilakukan perusahaan tambang besar ini berimplikasi masalah hukum yang belum terselesaikan.
Lemahnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan produksi dan ekspor batubara ini dinilai menjadi salah satu penyebab maraknya tindakan ilegal ini. Praktik manipulasi data produksi dan transaksi sering dilakukan perusahaan tambang agar bisa menyelundupkan batubara secara ilegal ke luar negeri. Hal ini tak bisa dianggap sepele karena nilai kerugian negara akibat ekspor ilegal batubara mencapai ratusan triliunan rupiah setiap tahunnya.
Pasalnya, negara yang seharusnya mendapatkan royalti dari hasil ekspor tersebut ternyata harus menelan pil pahit karena hanya dinikmati para pelaku ekspor ilegal tersebut. Lembaga nirlaba Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis hasil kajiannya selama 2006-2016 terdapat beragam temuan terkait perusahaan pertambangan batubara yang tidak melaporkan transaksi ekspor sesuai kondisi riil.
ICW mencatat selama kurun waktu tersebut, terdapat indikasi unreporting transaksi ekspor sebesar US$ 27,062 miliar atau sekitar Rp 365,3 triliun. Kerugian negara akibat ekspor ilegal ini mencapai sebesar Rp 133,6 triliun atau US$ 27,062 miliar pada sektor pertambangan batubara. Rinciannya, berasal dari kewajiban pajak sebesar Rp 95,2 triliun dan royalti atau Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) sebesar Rp 38,5 triliun.
Koordinator Divisi Monitoring dan Analisis Anggaran dan Peneliti ICW, Firdaus Ilyas menjelaskan modus pemalsuan dokumen paling sering dilakukan perusahaan tambang batubara agar dapat mengekspor batubara secara ilegal. Misalnya, ternyata ditemukan data volume dan jenis batubara yang tercantum dalam dokumen tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.
Ironisnya, kata Firdaus, perusahaan batubara seringkali bersengkongkol dengan perusahaan surveyor dalam memalsukan dokumen ekspor tersebut. Seperti diketahui, sebelum memasuki pemeriksaan pegawai Bea Cukai, setidaknya perusahaan tambang harus memiliki sertifikat Laporan Surveyor (LS) yang memuat spesifikasi batubara.
“Surveyor itu bisa dipesan. Siapa yang bisa memverifikasi itu (LS). Bisa saja kadar batubara yang diekspor dalam dokumen diturunkan. Surveinya bisa dipesan,” kata Ilyas dalam acara diskusi bertajuk Strategi Pengelolaan Batubara Nasional “Tantangan Fiskal dan Transisi Energi” di Jakarta, Kamis (4/10/2018). Baca Juga: Ada Potensi Kerugian Ratusan Triliun Akibat Laporan Ekspor Batubara Bermasalah